Pentas Lenongan STAGEMAN art
di Perkampungan Budaya Betawi - Srengseng Sawah – Jagakarsa – Jakarta Selatan
Dengan lakon : Perawan di Gadein
Karya : Ki Jebul
Sutradara : Anto Ristargie
Eh Cing .. Lenong itu bisa juga disebut teater tradisional Betawi. Alasannya .. kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Dan bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Eh Cang .. Lenong itu berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Dekornya sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks. Tahun 70-an, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan, tata panggung lebih realistis, make-up menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka. Ada lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi) kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam. Ada juga lenong preman, busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari dan kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah. Karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.
Eh Ncang-Ncing .. Di Lenong itu pakem-pakem yang harus ada : pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri juga musik pengiringnya adalah gambang kromong. Tapi ada juga toleransi daerah tertentu, terutama pinggiran Jakarta (perbatasan dengan Bekasi dan Bogor), yang memang tidak memiliki tradisi gambang kromong, diganti tanjidor. Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggir.
Tahun 80-an dan 90-an, muncul teater-teater pop yang ke-Betawi-Betawian yang dapat juga dikatakan sebagai (konsep) pertunjukan lenong, orientasi hiburan pada pertunjukan Lenong adalah sebuah pertunjukan yang menghidupkan spontanitas, penuh lawakan yang tidak satu arah. Penonton pun boleh menjadi aktor, dan penonton yang menjadi pelawak itu adalah buah dari spontanitas, lawakan yang tidak terstruktur, tidak ada aturan. Semua bisa jadi bahan tertawaan, semua bisa tertawa. Karena lawakan sebagai bagian lawakan yang utuh murni untuk menghibur adalah bentuk awal dari lakon-lakon lenong.
Maka Lenong tetap Lenong. Tidak ada kategorisasi lain untuk hal itu. Lenong menjadi budaya bangsa yang menghibur secara jujur, tulus, spontan serta menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. (tim)
di Perkampungan Budaya Betawi - Srengseng Sawah – Jagakarsa – Jakarta Selatan
Dengan lakon : Perawan di Gadein
Karya : Ki Jebul
Sutradara : Anto Ristargie
Eh Cing .. Lenong itu bisa juga disebut teater tradisional Betawi. Alasannya .. kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Dan bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Eh Cang .. Lenong itu berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Dekornya sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks. Tahun 70-an, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan, tata panggung lebih realistis, make-up menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka. Ada lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi) kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam. Ada juga lenong preman, busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari dan kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah. Karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.
Eh Ncang-Ncing .. Di Lenong itu pakem-pakem yang harus ada : pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri juga musik pengiringnya adalah gambang kromong. Tapi ada juga toleransi daerah tertentu, terutama pinggiran Jakarta (perbatasan dengan Bekasi dan Bogor), yang memang tidak memiliki tradisi gambang kromong, diganti tanjidor. Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggir.
Tahun 80-an dan 90-an, muncul teater-teater pop yang ke-Betawi-Betawian yang dapat juga dikatakan sebagai (konsep) pertunjukan lenong, orientasi hiburan pada pertunjukan Lenong adalah sebuah pertunjukan yang menghidupkan spontanitas, penuh lawakan yang tidak satu arah. Penonton pun boleh menjadi aktor, dan penonton yang menjadi pelawak itu adalah buah dari spontanitas, lawakan yang tidak terstruktur, tidak ada aturan. Semua bisa jadi bahan tertawaan, semua bisa tertawa. Karena lawakan sebagai bagian lawakan yang utuh murni untuk menghibur adalah bentuk awal dari lakon-lakon lenong.
Maka Lenong tetap Lenong. Tidak ada kategorisasi lain untuk hal itu. Lenong menjadi budaya bangsa yang menghibur secara jujur, tulus, spontan serta menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. (tim)
0 komentar:
Posting Komentar