Nico Dharma Jungen, fotografer profesional yang menekuni fotografi sejak 1970 di Jerman. Ia kini menghadirkan karya fotografi yang eksotik, berkisah tentang tubuh manusia dan bentuk. Karya Nico dipamerkan dengan tema “Tubuh dan Bentuk”, di Galeri Salihara, Jakarta, pada 3-24 Maret. Uniknya, pengunjung dibatasi usia bagi yang melihat; 18 tahun ke atas. Juga pengambilan gambar dalam bentuk apapun tidak diperbolehkankan-- guna menghindari penyalahgunaan karya.
Tubuh dimaknai Nico sebagai estetika dari keindahan. Meskipun ada asumsi yang mengatakan tubuh sang model tidak bagus, tapi bagi fotografer bisa saja tubuh jadi indah. “Kadang begitu jeleknya, ia bisa terbalik jadi indah. Aku juga mau tunjukkan bahwa ketelanjangan itu, bukan selalu pornografi,” jelas Nico.
Hal terpenting bagi Nico, fotografi telanjang berarti nilai kejujuran. “Kalau kita di foto masih memakai baju, berarti masih ada yang kita tutupi. Tapi dimana kita betul-betul bugil, itu suatu kejujuran untuk aku,” imbuhnya.
Beberapa karyanya, terdapat objek-objek yang sengaja digunakan untuk menutupi wajah para model. Nico memakai objek-objek tersebut karena wajah sangat dominan keberadaannya. Selain itu, Nico memegang janji untuk tak mengungkap identitas para model.
Pameran fotografi “Tubuh dan Bentuk” juga disertai diskusi dengan tema yang sama di Serambi Salihara, pada 7 Maret, dengan pembicara Firman Ichsan (Kurator) dan Qaris Tajudin (Tempo).
Dalam diskusi ini, Qaris menyampaikan interpretasi tubuh bagi seorang juru foto. Hal itu acapkali menimbulkan perdebatan mengenai definisi erotika, sensualitas dan pornografi dalam ranah fotografi. Padahal, menurut Qaris, tubuh dalam fotografi tidak terbatas pada eksplorasi citra tubuh-tubuh polos. “Ketelanjangan bukan tolak ukur erotis atau tidak. Bagi seorang fotografer, tubuh bisa menyampaikan pesan tertentu baik tertutup atau tidak,” ujar Qaris.
Sedangkan Firman mengungkapkan, “Tubuh ini dipergunakan oleh kita-- tidak lagi semata-mata sebagai objek, tapi sebagai pernyataan juru foto dan terfoto”.
Dalam praktiknya, pose tubuh yang ideal dan yang dirasakan nyaman bagi peraganya akan menghasilkan bentuk postur dan detail yang khas—seperti yang biasa ditemukan dalam pose-pose klasik binaragawan atau para model fesyen. “Namun memperhatikan karya-karya Nico, kita akan merasa tertantang. Bukan saja oleh objek atau benda unik yang menjadi bagian fotonya. Tetapi juga bagaimana para model berpose,” tambah Firman.
Bagi Firman yang menjadi kurator karya-karya fotografi Nico, pose kedua subjek tampak tidak ideal. Namun dimata Nico kedua tubuh itu menjadi sempurna. Ia membiarkan sebagaimana mestinya. Bahkan foto itu dibiarkan terpotong hampir di semua bagian, mulai dari wajah, jari hingga kaki kedua model. Lalu mengapa foto itu menjadi langkah awal bagi eksplorasi tubuh yang dipotret Nico? Firman pun berujar, “Tubuh yang tidak berada dalam posisi nyaman bagi si peraga dan pemilahan bidang gambar yang tidak umum menjadi penanda bagi susunan yang ambigu dan tidak biasa, dan justru melahirkan adegan yang unik—bahkan indah”.
Firman menganggap pameran fotografi Nico kali ini, lebih pada konsistensi Nico untuk memberanikan diri melakukan pernyataan melalui tubuh. “Tapi yang patut kita sadari bahwa seorang juru foto itu tidak hanya punya satu cara penyampaian, dia punya begitu banyak cara. Kali ini dekat dengan kata tubuh,” ujar Firman dalam wawancara seusai diskusi di Komunitas Salihara. (satulingkar)
0 komentar:
Posting Komentar