Kamis, 31 Mei 2012

JAKARTA KECIL DAN MACETNYA “JET COASTER TEATER”

Catatan Pertunjukan “ Repertoar Sabun Colek “ Teater Stasiun, 24 Mei 2012 di Bentara Budaya Jakarta Oleh: Riyadhus Shalihin Biografi menonton pertunjukan Teater Stasiun tidak jauh berbeda dengan pengalaman kepenontonan saya sebelum menyaksikan “Jakarta kecil” di atas pentas. Jakarta sendiri seperti terminal drama yang membocorkan peristiwa acting terus menerus, aktor-aktor metropolis tanpa naskah, menonton teater di Kota ini disambut secara meriah oleh prolog-prolog faktual non estetik yang mungkin lebih simbolik, teatrikal, dramatik bahkan. Saksikan penyutradaraan kakek buta yang hampir tertabrak mikrolet, orang yang asyik makan ketoprak disamping gerobak sampah, emak dan anak tertidur nyenyak di balik tumpukan botol-botol bekas, lelaki yang sedang memukuli monyet di bawah jalan layang, anak-anak yang sedang mengejar layangan melawan arus lalu lintas, juga bau keringat para kernet serta supir metromini yang melengkapi seluruh kebutuhan indrawi pertunjukan, kegaduhan Jakarta menjadi riwayat penting bagi saya untuk menemukan identitas estetika di balik riuhnya kelahiran sebuah kondisi teater. Dalam teori akting dikenali “tubuh yang mengalami, tubuh yang menjadi, tubuh yang partisipatif“ maka dalam peristiwa kepenontonan pun banyak tercipta situasi seperti itu. Saya selalu percaya pertunjukan teater dengan megalomania artistik yang ultra ekletis sekalipun tidak pernah kabur dari muara sosiografinya, dan itulah salah satu yang membuat “kemenjadian” penonton mengalami peristiwa partisipatif timbul tenggelam, sebab kedekatannya yang nyaris tanpa jarak antara kesakralan teks, panggung dan riwayat pemeranan. Melaui leaflet yang disediakan panitia dapat diketahui bahwa Teater Stasiun bermula muncul dari kekerabatan geografis para senimannya yang berdomisili dekat dengan sebuah Stasiun yang bernama Stasiun Angke, ini merupakan point yang menarik dan mengingatkan saya pada Teater Kubur yang berlatih dan berproses di areal pekuburan Gang Kober Jakarta. Teater modern jakarta hidup dalam kondisi yang nyaris tanpa kebudayaan, mereka menghasrati teater dalam kemanusiaan yang nyaris sekarat, selain berhadapan dengan gigantisme perbelanjaan, Teater Jakarta berhadapan juga dengan kondisi seni di luar teater yang terus melakukan muslihat atas nama kontemporer, aktivitas korupsi kontemporer yang berujung transaksi niaga, terutama seni rupa dan seni lukis yang sedang memasuki musim “cukong melek seni”, seni rupa ramai dijadikan identitas legilslasi glamour para investor dan stakeholder bisnis. Memasuki estetika Teater Jakarta seakan berhadapan dengan pemeranan pabrik, pemeranan mereka diolah, dilumat dalam subjektifikasi mall-mall, menyisakan kebecekan acting, becek meninggalkan panggung menuju tempat kerja, dari acting ke demonstrasi outsourching, dari menghafalkan naskah drama menuju dialog tawar menawar barang curian, dari panasnya angkutan ojeg di siang hari menuju ruang Teater yang nyaman, dingin dan steril. Ini adalah estetika khas Jakarta yang terus terjaga, Teater yang membahasakan korelasi keindahan yang secara intens disinggahi oleh dramaturgi becek ala Jakarta minor. Robeknya televisi, sebuah kabar dari Soekarno Pertunjukan Repertoar sabun colek yang ditulis dan disutradarai oleh Edian Munaedi mempersilahkan kita untuk duduk menonton sekaligus mengusir kita dari teater. Satir Jakarta yang dipentaskan pada tanggal 24 Mei ini penuh dengan polusi biografis, teks bukan hasil pertapaan artistik , mereka menampilkan mimetisme teater yang bolong, rombeng juga polos. Sejak awal pertunjukan proses pengusiran itu sudah terjadi, para penonton disambut dengan set dekor yang menggantungkan kotak televisi di berbagai sektor pemanggungan, di atap, di depan, di samping dan di belakang panggung, seketika itu juga “robek” berita-berita politikus, iklan pembersih wajah, pelangsing tubuh, kecelakaan jalan, lumpur lapindo, pembagian BLT, demonstrasi buruh ditampilkan sekaligus, penonton seakan dicabut dari realitas konsumerisme TV menjadi negasi pentas yang menakutkan. Bahwa Gurita “jual beli bencana” televisi sedemikian dekatnya hingga tidak menyisakan ruang pengamatan, hingga akhirnya ketika diberi jarak panggung barulah terasa sedemikian mencengkramnya TV yang kita serap bagai sarapan pagi siang dan malam itu. Robeknya televisi membuat runtuhnya dinding pengalaman yang pertama, pengalaman mengalami TV dalam tubuh rumah dan tubuh teater menjadi sebuah persetubuhan atas nama TV yang menyakitkan. Setelah itu kemudian datang seorang aktor yang dinamakan “Blitz” dimainkan oleh Berry Ken Agnes yang menyampaikan dialog “ Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka oleh sebab itu, Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka oleh sebab itu “ kata – kata itu terus dilontarkan berulang-ulang hingga akhirnya panggung gelap. Dua pengawal pertunjukan itu menghantui sebuah kata Indonesia bagaikan Pidato Soekarno yang sedang tersenyum di televisi, sokerano dibangun di antara kondisi formal pidato dan kemerdekaan yang hanya bisa kita jumpai di perpustakaan saja, bukan saat menonton televisi di rumah, bukan di saat berita pagi, berita buruh yang sedang menjahit mulutnya sendiri, kita saksikan sambil mengunyah roti dan menyeruput segelas susu hangat. Pertunjukan kemudian berlangsung bagaikan peristiwa kelahiran yang cacat, berbiak tanpa ibu. Pertunjukan Repertoar Sabun Colek ini memang memakai kata repertoasi untuk menampilkan 3 sub drama yang berhubungan secara tidak situasional, menjadi suasana yang saling menyakiti peristiwa nya masing-masing. Sub Pertama adalah “ Knalpot Bajaj “ dimana seorang Bapak perantauan dari kampung Tegal yang bosan akibat anaknya meminta terus menerus uang dari dirinya, dan sang suami dari anaknya tersebut hanya bisa tidur dan meminta makan saja. Sub-sub desain artistik pertunjukan ditata secara baik oleh skenografer Edmun, pada adegan yang diberi nama kanlpot bajaj ini hadir seng-seng berkarat yang mengimpresikan sebuah gubuk pinggiran Jakarta. Bapak terus menceramahi anaknya yang tidak bisa menyuruh suaminya untuk bekerja, sedangkan sang anak memunggungi penonton dan tidak berkata apa-apa, sesenggukan, berlinang kesia-siaan, menangis dengan menyesali anomali akan krimanalitas domestik yang dilakukan suami pada keluarganya. Nmaun akhirnya sang Bapa memberikan juga sebagian uang kepada anaknya, khotbah panjang lebar akhirnya hanya menjadi polusi retoris ba, menukik namun akhirnya luluh juga. Aktor Toni Prahara sebagai bapak memancing kejenakaan yang terpatah–patah di antara bau baygon yang menjadi artefak bau, membawa saya mabuk, bau bakar baygon tidak pernah senikmat ini sebelumnya. Memotong kemaluan pertunjukan Sub drama selanjutnya dinamakan “ Got mampet “, memberitakan 2 wanita yang sama-sama dikecoh oleh hierarki gender. Wanita pada sub ini dijadikan ornamentasi non vital oleh lelaki-lelaki, hadir seorang Ibu disia-siakan oleh suami yang kerjanya hanya minta makan saja, dirinya sebenarnya tidak meminta apa-apa cukup hanya kasih sayang namun apabila itupun suami tidak dapat memberikan apalagi kebutuhan lainnya. Sedangkan Fitri anaknya adalah seorang penyanyi dangdut orkes yang disia-siakan oleh pacarnya yang merupakan pemilik orkes dangdut keliling tersebut, setelah dinikmati tubuhnya fitri ditinggalkan begitu saja. Sub ini ditampilkan menggunakan koreografi lakon yang hitam, bagaimana dialog-dialognya adalah dialog lumpur, yang jujur dan kotor. Ibu dan anak saling memaki dirinya sendiri lalu akhirnya luluh dalan ontologi kelembutan wanita yang paling alamiah. Set yang minimalis ini memang efektif untuk menciptakan imaji teateral bagi para penontonnya, suasana di belakang rumah yang pengap dan bau, dinding-dinding seng berkarat dan tata suara yang menandakan kedekatan gubuk dengan rel kereta api memparodikan urbanitas yang sesungguhnya, warna-warni belel, sebuah mozaik kemiskinan yang professional. Sang ibu yang diperankan Reni Kaha terlihat sedang mencuci baju para pelanggannya, ditemani oleh anaknya yang terus membanting radio, membanting handphone, intens menyulut roko, hingga berteriak-teriak sendiri, kekesalan sang anak akibat pacar yang tidak mau bertanggung jawab dan ibu yang menyesali dinikahi tukang tipu. Lampu mati tiba-tiba dan mereka saling erat berpegangan dalam ruang kewanitaan, sang anak yang diperankan Mega F yohana mengucap “bu kita potong aja yu kemaluan laki-laki, mentahnya aja enak apalagi kalau sudah digoreng“ sebuah jilatan acting yang sunyi dan anti sastra. Saya lupa dalam setiap adegan per adegan ada bongkahan acting di luar naskah yang dimanipulasi oleh Edi sebagai sutradara, seperti tadi pembocoran kata-kata Soekarno, serbuan televisi, Blitz yang memul-mukuli tubuhnya sendiri sambil mengucapkan kata-kata yang dicoretkan di gerobak-gerobak sampah, dan sebelumnya juga saat akan memasuki sub drama “Got Mampet” Mega F Yohana yang menjadi sang anak bergoyang dangdut, menyajikan kecentilan pentas untuk memperjelas biografi marjinalitas kedangdutannya. Matinya lampu yang disisipi dialog bagai memotong vitalitas liniernya kemaluan pertunjukan yang komunikatif dengan dialog-dialog seputar kemaluan hingga pemotongan kemaluan laki-laki. Sub drama yang terakhir menyajikan kooptasi hierarkis dalam bentuk tedekatnya. Sub yang dinamakan “Ojek Prihatin” ini ditandai oleh set pangkalan ojeg, hadir dua anak dan bapa yang tampak sama-sama gelisah menanyakan identitas kemiskinannya. Bapa yang sudah lama membangun dengan susah payah pangkalan ojegnya, dirinya tidak mau ada seorangpun yang ngojeg ditempatnya, itu namany menyaingi ekonomi sehingga siapapun akan dilawannya termasuk anaknya sendiri yang juga ingin ngojeg disitu. Yang menarik dari ini adalah identifikasi keurbanan yang betul-betul dibocorkan, Ndang Rumeksa sebagai bapa membasahi logat kebetawiannya dengan lengketan dialek sunda kasar pandeglang banten, terasa jelas sinkretisme linguistik yang barbar dari ulang-alik betawi dan sarkasme sunda daerah banten yang mempericuh lompatan acting. Ada pembauran romantisme daerah dan realitas kehidupan jakarta yang keras. Konflik terus berlanjut hingga hadir Aktor Haikal Sanad yang mencampuri identitas carut-martutnya perbiakan ras di Ibu Kota, Haikal yang berperan sebagai Usin Minyak bolak-balik menawarkan minyak parfum ala timur tenagh dengan kekentalan logat arab betawi condet yang komikal, Usin bertingkah sibuk, peduli, perhatian ternyata hanya untuk menjajakan kebutuhan ekonimnya. Berbelat-belit Usin bersantun kata akhirnya memang Jakarta hanya menawarkan putaran erotisme niaga saja. Lampu gelap, sebuah dunia yang patut disimak. Musik pertunjukan yang ditata oleh Mameth Tgong ini memang memaki imaji robotikal dan industrial kota, memberikan kolom nada yang membakar jantung kemanusiaan siapapun yang hendak datang ke kota Jakarta, Mameth menyuasanakan sebuah pengumuman suasana dan peringatan, pemompaan akselerasi ekonomi hingga mencapai titik maksimum kemuakannya. Kemuakan-kemuakan itu saya catat secara runut, seperti biasa dalam sebuah peristiwa teater lampu akan selalu gelap di seputar penonton hingga lakon teater selesai dipertunjukkan. lampu gelap adalah sebuah dunia yang jujur, nyinyir, sarkas, barbar dan juga mulia, sebuah dunia yang patut disimak. saat lampu gelap kita akan menemukan kejujuran tanpa wajah, hanya ada suara yang bisa kita dengarkan, bagaimana mereka menertawai aktor, melepaskan enersi mahkluk jakarta yang memenjarakannya, saya mengamati pada pertunjukan ini penonton terkuras untuk konsentrik menikmati daya artistik pertunjukan, lepasan tawa dan dahaga rutinitas menjadi sebuah kesenangan bersama yang sakral, lampu gelap memfasilitasi sebuah kemanusiaan tanpa martabat, kemanusiaan yang membiarkan diri kita melepas penat kerja, sebuah dunia sederajat yang tidak mengenali pakaian apa yang sedang kita kenakan, berapa banyak uang yang sedang kita simpan di dompet, mobil apa yang kita pakai, semua melebur dalam dunia agoni yang puitik, hanya ada suara , bau tubuh dan dengus nafas yang memburu, dengan caranya teater menyimak secara haru nestapa dirinya sendiri, sayangnya lampu gelap hanya ada sekejap dalam dunia seni pertunjukan, dalam dunia aktual “ke-terangan” hanya menyembunyikan kejujuran sebuah kemanusiaan. Kebudayaan yang tidak telanjang Mengapa kita rela menunggu lama demi menyaksikan sebuah pertunjukan teater, setelah lelah seharian beraktivitas mengapa tidak lekas tidur saja membuat susu, lalu berselimut dengan nyaman menyongsong hari esok. Teater memberikan perayaan bagi istirahatnya sebuah kapitalisme kemanusiaan, Teater memberikan kita sebuah ruang tanpa justifikasi jual-beli, dunia bohong-membohong yang seksi. Namun sayangnya dalam pertunjuakn sabun colek ini akhir yang telah tertata sedemikian erotik sedari awal tidak menemukan maksimalitasnya di akhir pentas. Hingga Sub drama “tukang ojeg” berakhir maka televise-televisi menyala kembali, serbuan televisi itu menyedot kembali janji-janji palsu para politisi, tensi kepenontonan pun meningkat, adrenalitas acting meninggi menghantarkan kita pada “jet coaster Teater”. Kemudian sang blitz masuk lagi dan menyatakan kembali koar-koar soekarnoisnya “kebebasan adalah hak segala bangsa“ terus diucapakan sambil satu persatu dia melepaskan jas serta pakaian yang dia pakai, kemudian satu persatu aktor yang tadi dibangun “termuntahkan” melewati sang blitz, mereka tetap bertengkar dalam peristiwanya sendiri-sendiri, berjoged dan menyanyikan dangdut, menjual parfum, anak dan bapa bertengkar saling merobek kejenuhannya pada kota sambil berlalu lalang dari kanan dan kiri panggung, saya terus tertarik pada sang blitz yang mempreteli pakaiannya satu persatu menuju telanjang, saya seakan menyaksikan realitas Jakarta yang membuat miniatur tubuh warganya hingga tidak berdaya, bertelanjang dalam topeng jas dan pakaian kantor. Namun setelah musik berhenti ternyata Berry Ken Agnes hanya berhenti membuka pakaiannya pada legging saja, dia tidak meneruskan pemretelan ketelanjangannya hingga benar-benar melucuti seluruh pakaian, saya merasakn ini adalah ketelanjangan yang masih didominasi oleh antah-berantah norma ataupun budaya yang justru akhirnya menghasilkan kebudayan yang tidak telanjang seperti yang dicita-citakan dari awal drama, saya fikir akan terjadi peritiwa yang lebih metaforik apabila Berry melepaskan saja seluruh hiruk-pikuk realitas Jakarta kecil yang telah dibangunnya tentu dengan simbol pakaian kantor yang dia kenakan, akhirnya adegan akhir menjadi sebuah ketelanjangan Jakarta yang tanggung, barbarisme yang belum sepenuhnya menelanjangi penonton. Saya teringat pada Aktor Zainal Abidin Domba yang bertelanjang dalam sebuah pertunjukan Teater SAE namun tetap tubuh telanjang yang menjadi performa adalah sebuah puitisasi ruang yang tidak birahial namun lebih kepada streching ruang menuju ketegangan “jet coaster teater” yang paling menekan, saya kira ada kebijakan gedung atapun tata aturan undang-undang kesopanan yang kini menyusupi kepentingan seni yang otentik, tata keadaban ini tidak se-egaliter seperti dahulu, juga ditambah dengan bermunculannya kelompok-kelompok garis keras agama, hal-hal tersebut bisa jadi sebagai bahan pertimbangan Sang Sutradara. Sayang sekali agama atau politik dalam sebuah era yang katanya reformis mengkapitalisasi seni-seni yang jujur, seni kini dijubahi oleh topeng undang-undang yang akhirnya tidak membebaskan kemanusiaan, meski hanya dalam satu pertunjukan Teater.***

0 komentar:

Posting Komentar