Jumat, 23 Maret 2012

Menkokesra: Film Sampai Ujung Dunia Mendidik Anak Muda

Judul Sampai Ujung Dunia
Sutradara: Monty Tiwa
Produser: Sumarsono, Garry Aditya
Pemeran: Gading Marten, Dwi Sasono, Renata Kusmanto, Roy Marten, Chintami Atmanegara, Sudjiwo Tedjo, Tutie Kirana
Produksi: NasiPutih Pictures
Jenis Film: Drama


Ada sebuah film layar lebar baru karya Sutradara Monty Tiwa. Film tersebut berjudul Sampai Ujung Dunia yang dibintangi Gading Marten, Dwi Sasono, dan Renata Kusmanto. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono ikut menyaksikan pemutaran perdana film itu. Agung Laksono mengatakan, ini film bertema pendidikan yang bagus ditonton semua kalangan, tua dan muda, segala sesuatu ada perjuangannya. Agung juga memuji segi lain dari film tersebut, yakni teknik pengambilan gambar dan editingnya. “Dari segi sinematografi bagus, pengambilan gambar bagus, teknik gambar bagus, alur ceritanya menarik," kata Agung Laksono di Hot Shot SCTV, Jumat (23/3).
Kalau membaca sinopsisnya, jelas sekali kalau ceritanya sangat sinetron banget. Mirip-mirip FTV kurang lebihnya. Namun ketika menonton filmnya, kesan itu agak sedikit berkurang. Tidak ada derai air mata yang mengalir deras karena adanya sebuah penyakit aneh, semuanya berlangsung begitu alami dan enak dinikmati.
Kisah seorang cewek yang bersahabat dengan dua pria ganteng dan akhirnya berubah menjadi kisah cinta segi tiga ini sangat manusiawi, meskipun bolong-bolong tetap saja ada dan kadang terasa dipaksakan, tapi secara umum film ini sangat nyaman dinikmati. Agak sulit membayangkan seorang gadis yang “cacat” dengan prestasi kerja yang ala kadarnya, tapi mampu membiayai “seorang calon prajurit” sampai lulus menjadi prajurit. Untuk yang ini sebaiknya kita terima saja apa kata sutradara. Intinya adegan ini ingin menunjukkan betapa cintanya sang gadis terhadap pria idamannya. Siapa pria idaman sang gadis juga pasti mudah ditebak. Namanya saja sinetron yang dibioskopkan, jadi jalan cerita sangat mudah ditebak. Meski begitu ending cerita cukup bagus, sehingga selesai menonton film ini ada sesuatu yang tetap kita dapat.
Permainan akting dari Dwi Sasono tentu sudah sangat kita kenal kehandalannya sedangkan permainan Gading Martin yang diarahkan seperti Gading Martin apa adanya juga sangat pas untuk karakter Gilang. Klop sudah permainan jejaka ganteng ini melawan akting gadis cantik asal Klaten Renata Kusmanto. Akting Renata memang belum teruji, tapi untuk permainannya di film ini sudah cukup memadai. Sayang peran Sudjiwo Tedjo tidak diexplore dengan baik. Wejangan-wejangan ala Sudjiwo Tedjo sebenarnya bisa disisipkan pada sang calon prajurit, sehingga film ini bisa lebih “berisi”.
Bagian make up juga patut diacungi jempol. Perpindahan karakter dari anak SMU menjadi pria dewasa terlihat sangat mulus. Agak sulit membayangkan seorang Gading Martin atau Dwi Sasono berperan sebagai anak SMU, tetapi di film ini mereka dapat memerankannya dengan baik. Tentu dengan bantuan riasan yang sangat detil. Jadi secara keseluruhan film ini layak tonton, apalagi untuk mereka yang suka akan kisah ala sinetron dengan tampilan yang lebih halus dan tidak banjir air mata.
Ceritanya sederhana. Gilang (Gading Marten), Daud (Dwi Sasono) dan Anissa (Renata Kusmanto) sudah bersahabat sejak kecil. Mereka bertiga datang dari latar belakang yang berbeda. Satu cinta-cita Anissa yang dijanjikan untuk dipenuhi oleh kedua ‘kakak’ nya adalah, ingin berkeliling dunia. Waktu berlalu dan mereka beranjak remaja. Daud dan Gilang pun mulai menyadari bahwa perasaan sayang mereka kepada Anissa telah berubah menjadi cinta yang mendalam. Keduanya menyatakan cinta kepada sang gadis di saat yang hampir bersamaan. Anissa pun bingung, dia sama-sama mencintai kedua sahabatnya dan tidak mau pertemanan mereka retak. Akhirnya Anissa pun mempunyai ide untuk ‘menyelamatkan’ persahabatan itu. Anissa mengajukan syarat, barangsiapa yang bisa pertama kali mengajaknya berkeliling dunia, akan diterima sebagai kekasihnya. Ini menjadi motivasi untuk Gilang dan Daud. Selepas SLTA keduanya pun berpisah. Gilang melanjutkan sekolah di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia-Curug, sedangkan Daud diterima di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran di Merunda. Diam-diam mereka tetap berharap dengan profesinya nanti dapat mewujudkan keinginan Anissa.
Sampai akhirnya Anissa harus menyampaikan sebuah rahasia kepada keduanya. Bahwa rupanya, cita-cita Anissa mungkin tidak akan bisa tercapai bila tidak dilaksanakan secepatnya. Anissa menyayangi kedua sahabatnya yang bimbang memilih, ternyata, Anissa kemudian mengungkap rahasia kepada kedua pria ini, bahwa ia menderita penyakit yang mengancam nyawanya.
Sutradara Monty Tiwa menganggap Sampai Ujung Dunia, film karya terbaiknya. "Saya benar-benar menaruh hati saya ke dalam film ini. Gagasan awal membuat SUD adalah bagaimana membangkitkan semangat serta di kalangan remaja agar menyukai atau setidaknya mengenal sekolah penerbangan dan pelayaran," kata Monty Tiwa kepada Tempo di Epicentrum Walk, Jakarta, Jumat (16/3).
Tak tanggung-tanggung, dalam proyek film ini Monty tak hanya menjadi sutradara, tapi sekaligus menulis skenario, mengarahkan akting para pemain, turun tangan mengedit film, hingga mencipta soundtrack alias lagu tema filmnya. Keterlibatan Monty dalam film ini berawal dari ide sang produser. Ide awalnya sangat sederhana, cinta segitiga antara seorang perempuan, pelaut, dan penerbang. Tapi di tangan Monty, film drama romantis yang sebenarnya bertema klise ini bisa menjadi karya yang manis, tanpa harus menye-menye, bahkan menuai banyak pujian. Dalam film ini, penonton juga akan dimanjakan keindahan pemandangan negeri Belanda, yang menjadi bagian dari perjalanan cerita.
Rupanya, sineas kelahiran Jakarta 28 Agustus 1976 ini menuangkan refleksi perjalanan hidupnya dalam skenario. Kenangan masa SMA dan keindahan kematangan kepribadian di usia dewasa. "Seringkali orang menganggap masa paling indah adalah masa SMA. Tanpa menyadari bahwa masa sekaranglah yang paling berarti," kata Monty
Jarang ada film Indonesia yang berani menampilkan tiga masa perjalanan waktu dengan pemain yang sama seperti Sampai Ujung Dunia. Gading Marten, Dwi Sasono, dan Renata Kusmanto mesti memainkan sosok dalam tiga rentang waktu yang berbeda. Tentu membutuhkan kematangan akting. Dwi Sasono yang sudah berusia tiga puluhan, menunjukkan kepiawaian aktingnya ketika memainkan perannya yang berusia SMA, kemudian harus bergeser usia ketika kuliah dan dewasa. Monty turun tangan sebagai pengarah akting agar inner kepribadian masing-masing tokoh utama dalam tiga periode masa itu muncul dengan alami. Ia menghabiskan waktu dua bulan untuk membangun karakter masing-masing tokoh utamanya. "I really put my heart into this," ujarnya.
Penonton akan merasakan aroma yang berbeda dari Monty Tiwa bila dibanding karya-karyanya yang jenaka dan film seram seperti Maaf, Saya Telah Menghamili Istri Anda (2007), Pocong 3 (2007), XL Extra Large (2008), Barbi3 (2008), Keramat (2009), dan Mendadak Dangdut (sebagai penulis). (tim)

0 komentar:

Posting Komentar