Pembicara Seri Kuliah Erotika dan Tubuh, Septemmy Lakawa, dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta di Salihara, Sabtu (17/3)
Jadilah pelaku firman bukan sekadar penghafal firman, itulah ungkapan Sudjiwotedjo, budayawan dalam account twitter @ Sudjiwotedjo.
Ungkapan ini mungkin tepat untuk membahas makna ajaran Kidung Agung (KA) alkitab dalam perspektif gereja Kristen Protestan. Diskusi tentang KA dibahas dalam kuliah umum tentang Erotika di Komunitas Salihara, Jakarta,Sabtu,(17/3). Pembicara kali ini Septemmy Lakawa, dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Doktor alumni School of Theology Boston University, Boston, MA, AS, selain mengajar juga menjadi pendeta di Jakarta. Tema bahasan kali ini tentang “Erotika Dalam Alkitab: Kidung Agung, Gairah Dan Eros”.
Kitab KA sendiri di tulis oleh raja Salomo. Kitab ini di anggap ‘kontroversi’ karena membicarakan hal-hal yang bersifat “erotis” dan tabu, tidak seharusnya masuk ke dalam Alkitab. Isinya penuh dengan ungkapan “erotisme” yang di gubah dalam syair-syair halus dan indah. Barangkali oleh karena tema cinta muncul dalam kitab ini, maka beberapa seksolog dan penasihat pernikahan Kristen menggunakan kitab ini sebagai referensi kehidupan seks dalam pernikahan. Sehingga kitab ini menjadi bacaan “khusus dewasa” diyakini oleh sebagian umat Kristen, ungkap Septemmy Lakawa.
Padahal Septemmy menyatakan ketika membaca makna KA jangan dulu bicara lembaga perkawinan, yang penuh aturan dalam agama ataupun negara. Erotika yang dibahas dalam KA penuh dengan “simbol” atau perumpaan tanpa “klimaks” yang dapat ditafsirkan oleh siapapun sedemikian “bebas” dalam konteks ruang dan waktu. Karena kebebasan itulah kemudian lembaga agama (yang didalamnya ada tokoh-tokoh agama) “mengatur/membimbing”sedemikian rupa tentang makna yang terkandung dalam KA tersebut.
Menurut penulis, tujuan pengaturan itu tidak lain untuk “penundukan” atau alat kontrol institusi agama terhadap tubuh individu yang menyangkut soal sex dan mistik (baca spitualitas).
Dari situasi itu, maka kemudian lahir aturan-aturan yang sedemikian rupa dalam soal tubuh dan sex didalam ajaran agama sampai kebijakan negara mengacu pada pandangan agama. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang suci dan mana yang kotor. Jelas terpisah dengan tegas antara “Zina” dan perkawinan sah yang dianggap suci. Hal ini dilakukan agar umat tidak “liar” terhadap sex dalam memaknai KA, ungkap Septemmy.
Padahal pertanyaan dasarnya siapa sebenarnya yang “liar” memaknai KA, cara berpikir lembaga agama (dengan seperangkat orang dan aturan) atau umatnya? Penulis berpendapat lembaga agama terlalu “angkuh” mengatur tubuh,sex dan spritualitas umat dengan kaca mata “mereka” tanpa pernah berangkat dari pengalaman masing-masing umat. Semestinya lembaga agama tidak berpikir, “bukan seharusnya menjadi apa,tapi yang penting apa yang terjadi”. Artinya berangkat dari pengalaman individu umat, ungkap Septemmy.
Selama ini pengalaman manusia selalu diabaikan tentang sex, karena pengalaman umat selalu dianggap “liar” atau “amoral” oleh pandangan lembaga agama. Padahal setiap manusia punya makna berbeda-beda tentang sex, kenikmatan dan spiritualitas yang tidak selalu harus masuk dalam lembaga perkawinan ala “agama” yang heterosentris (kebenaran hanya heteroseksual).
Septemmy menegaskan KA bermakna seksualitas sebagai bagian integral (menyatuh) dari spitualitas atau ketuhanan. Ketika manusia dapat memahami seksualitas secara meyeluruh dalam KA, maka akan lepas dari semua identitas apapun. Saat itulah tubuh,sex, nafsu dan keilahihan menyatu dalam Eros. Eros yang dimaksud sebagian pihak menyakini sang Kristus itu sendiri. Yang tidak lagi melihat phisik,suku, agama, jenis kelamin,orientasi seksual, identitas gender, warna kulit, berat badan dan segala indentitas. Semua lepas dan meyatu dalam makna Eros ketuhanan itu. Saat itulah, diri kita yang tak beridentitas telah “bersetubuh” dengan yang transendental (baca sang khalik/Tuhan). Penuh dengan kasih dan cinta, tanpa eksploitasi dan diskriminasi satu dengan lainnya.
KA bukan kitab tentang kehidupan teknis tentang sex,praktik seksual,apalagi tentang perkawinan. KA sebuah bentuk imajinasi puitis-erotis dalam seluruh kompleksitasnya. Bukankah yang erotis juga dapat menjadi politis!
Erotisme didalam KA melampuai batas-batas gender dan seksualitas. Karena gairah dan hasrat yang merupakan bagian dari erotisme sebagai sumber teologis untuk memahami makna Tuhan. Bukankah Yesus juga sexy! Sehingga pendeta juga diizinkan sexy, ungkap Septemmy menutup kuliah umumnya malam itu. (ourvoice)
Jadilah pelaku firman bukan sekadar penghafal firman, itulah ungkapan Sudjiwotedjo, budayawan dalam account twitter @ Sudjiwotedjo.
Ungkapan ini mungkin tepat untuk membahas makna ajaran Kidung Agung (KA) alkitab dalam perspektif gereja Kristen Protestan. Diskusi tentang KA dibahas dalam kuliah umum tentang Erotika di Komunitas Salihara, Jakarta,Sabtu,(17/3). Pembicara kali ini Septemmy Lakawa, dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Doktor alumni School of Theology Boston University, Boston, MA, AS, selain mengajar juga menjadi pendeta di Jakarta. Tema bahasan kali ini tentang “Erotika Dalam Alkitab: Kidung Agung, Gairah Dan Eros”.
Kitab KA sendiri di tulis oleh raja Salomo. Kitab ini di anggap ‘kontroversi’ karena membicarakan hal-hal yang bersifat “erotis” dan tabu, tidak seharusnya masuk ke dalam Alkitab. Isinya penuh dengan ungkapan “erotisme” yang di gubah dalam syair-syair halus dan indah. Barangkali oleh karena tema cinta muncul dalam kitab ini, maka beberapa seksolog dan penasihat pernikahan Kristen menggunakan kitab ini sebagai referensi kehidupan seks dalam pernikahan. Sehingga kitab ini menjadi bacaan “khusus dewasa” diyakini oleh sebagian umat Kristen, ungkap Septemmy Lakawa.
Padahal Septemmy menyatakan ketika membaca makna KA jangan dulu bicara lembaga perkawinan, yang penuh aturan dalam agama ataupun negara. Erotika yang dibahas dalam KA penuh dengan “simbol” atau perumpaan tanpa “klimaks” yang dapat ditafsirkan oleh siapapun sedemikian “bebas” dalam konteks ruang dan waktu. Karena kebebasan itulah kemudian lembaga agama (yang didalamnya ada tokoh-tokoh agama) “mengatur/membimbing”sedemikian rupa tentang makna yang terkandung dalam KA tersebut.
Menurut penulis, tujuan pengaturan itu tidak lain untuk “penundukan” atau alat kontrol institusi agama terhadap tubuh individu yang menyangkut soal sex dan mistik (baca spitualitas).
Dari situasi itu, maka kemudian lahir aturan-aturan yang sedemikian rupa dalam soal tubuh dan sex didalam ajaran agama sampai kebijakan negara mengacu pada pandangan agama. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang suci dan mana yang kotor. Jelas terpisah dengan tegas antara “Zina” dan perkawinan sah yang dianggap suci. Hal ini dilakukan agar umat tidak “liar” terhadap sex dalam memaknai KA, ungkap Septemmy.
Padahal pertanyaan dasarnya siapa sebenarnya yang “liar” memaknai KA, cara berpikir lembaga agama (dengan seperangkat orang dan aturan) atau umatnya? Penulis berpendapat lembaga agama terlalu “angkuh” mengatur tubuh,sex dan spritualitas umat dengan kaca mata “mereka” tanpa pernah berangkat dari pengalaman masing-masing umat. Semestinya lembaga agama tidak berpikir, “bukan seharusnya menjadi apa,tapi yang penting apa yang terjadi”. Artinya berangkat dari pengalaman individu umat, ungkap Septemmy.
Selama ini pengalaman manusia selalu diabaikan tentang sex, karena pengalaman umat selalu dianggap “liar” atau “amoral” oleh pandangan lembaga agama. Padahal setiap manusia punya makna berbeda-beda tentang sex, kenikmatan dan spiritualitas yang tidak selalu harus masuk dalam lembaga perkawinan ala “agama” yang heterosentris (kebenaran hanya heteroseksual).
Septemmy menegaskan KA bermakna seksualitas sebagai bagian integral (menyatuh) dari spitualitas atau ketuhanan. Ketika manusia dapat memahami seksualitas secara meyeluruh dalam KA, maka akan lepas dari semua identitas apapun. Saat itulah tubuh,sex, nafsu dan keilahihan menyatu dalam Eros. Eros yang dimaksud sebagian pihak menyakini sang Kristus itu sendiri. Yang tidak lagi melihat phisik,suku, agama, jenis kelamin,orientasi seksual, identitas gender, warna kulit, berat badan dan segala indentitas. Semua lepas dan meyatu dalam makna Eros ketuhanan itu. Saat itulah, diri kita yang tak beridentitas telah “bersetubuh” dengan yang transendental (baca sang khalik/Tuhan). Penuh dengan kasih dan cinta, tanpa eksploitasi dan diskriminasi satu dengan lainnya.
KA bukan kitab tentang kehidupan teknis tentang sex,praktik seksual,apalagi tentang perkawinan. KA sebuah bentuk imajinasi puitis-erotis dalam seluruh kompleksitasnya. Bukankah yang erotis juga dapat menjadi politis!
Erotisme didalam KA melampuai batas-batas gender dan seksualitas. Karena gairah dan hasrat yang merupakan bagian dari erotisme sebagai sumber teologis untuk memahami makna Tuhan. Bukankah Yesus juga sexy! Sehingga pendeta juga diizinkan sexy, ungkap Septemmy menutup kuliah umumnya malam itu. (ourvoice)
0 komentar:
Posting Komentar