Jumat, 23 Maret 2012

Pentas Teater Titik Nol, Kolaborasi Film dan Teater

Sebuah kain putih berperan sebagai layar dibentangkan di tengah di bagian belakang. Peran kain ini begitu hidup menyamai tokoh-tokoh di dalam naskah Titik Nol Cerita dari Aceh. Seni adalah sebuah bentuk kegiatan yang tidak dibatasi oleh batas geografi. Mampu menyampaikan suatu wacana dan pemikiran tanpa limitasi adalah esensi sebuah karya seni. Esensi seni lainnya adalah mampu berkolaborasi dengan disiplin seni lainnya hingga menjadi sebuah tampilan baru. Hal itulah yang diterapkan dalam Titik Nol. Pertunjukan ini adalah sebuah bentuk kolaborasi sutradara Agnes Christina (Singapura) dan Nicholas Yudifar dan aktor dari Indonesia (Agus Nur Amal) dan Singapura (Emanorwatty) dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Sabtu-Minggu (17-18/3) pukul 19.30 WIB.
Agnes yang selalu mengklaim setiap pertunjukkan adalah media belajar, maka usai pementasan digelar diskusi atau tanya jawab. Dari sekian banyak pertanyaan, paling seru ketika mempersoalkan soal adegan yang berkomunikasi lewat bayangan pada layar itu. Mereka menilai adegan itu kaku sehingga tidak cair sampai di penonton. Mereka menuntut adegan berisi tentang masa muda dari tokohnya Agus Nur Amal dan Emanorwatty, malah dibuat bergantian berada di balik layar sebagai bayangan agar dibuat berkomunikasi langsung. Karena ini merugikan dari sisi make up juga. Karena make up tokoh semasa Agus Nur Amal anak-anak tetap kelihatan tuanya.
Tapi begitu mendengar jawaban dari Agnes, sutradara berdarah Indonesia yang menetap di Singapura, justru menimbulkan perdebatan lagi. Titik Nol: Cerita dari Tanah Aceh berawal dari adaptasi dari sebuah film pendek dengan judul yang sama karya Nicholas, kata Agnes. Kemudian diputuskan untuk menyadur film itu menjadi sebuah pementasan teater berdurasi 60 menit oleh Agnes.
Dalam kolaborasi ini, Agnes dan Nicholas menggabungkan film pendek yang bercerita tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ayahnya akibat terjangan tsunami saat gempa Aceh 2001 lalu, dengan teater. Sehingga menghasilkan gaya pencitraan yang lebih menarik dan mudah dicerna penonton. Dengan penggabungan film pendek dan teater, kolaborasi Agnes dan Nicholas ini memang bertujuan untuk menciptakan gaya bercerita yang lebih menarik dan mudah dicerna penonton. Dengan dukungan kolaborasi pemain Indonesia-Singapura, seperti Emanorwatty Saleh (Singapura), dan Agus Nur Amal (Indonesia), pementasan teater Titik Nol menjanjikan sebuah cerita melankolis yang dipersembahin dengan sentuhan komedi. Eits, selain pagelaran teater, dalam kesempatan ini pula, pada tanggal 14 maret 2012, Pusat Kesenian Jakarta bakal ngadain workshop pencahayaan dalam teater oleh Fita Helmi, penata lampu asal Singapura yang menjadi piñata lampu Titik Nol.
Dengan memakai SDM-SDM berbakat dari Indonesia dan Singapura, Titik Nol lebih dulu dipentaskan di The Substation Theatre, Singapura pada 1-3 Maret 2012. Menariknya, ternyata berbeda jauh waktu pementasan di Singapura dengan di Indonesia. Utamanya adegan yang dipersoalkan penontonnya tadi. Agnes mengaku, di Singapura mereka membuat adegan semasa Agus Nur Amal muda berdialog langsung tanpa melalui layar.
Tapi ini dibenarkan oleh sutradara Teater Kolom, Hery S. Dia mengatakan, justru bersyukur menontonnya di Indonesia. Karena yang benar dilakukan Agnes adalah saat pementasan di Indonesia. Selain itu menunjukkan kreatifitas hasil proses kreatif dan evaluasi pada produksi sebelumnya, tapi juga Hery S mengklaim pilihan Agnes itu sudah benar. Karena adegan yang berisi tentang flash back atau kisah yang dikisahkan dari masa lalu tokohnya, jadi mudah dicerna penonton lewat adegan dari bayangan di layar dengan tokoh aslinya. “Itulah namanya sentuhan film-nya. Disampin itu, ada semacam terobosan untuk memanfaatkan post dramatic. Di mana berdialog tidak lagi harus bertatap langsung seperti pertunjukkan konvensional atau non post dramatic,” terang Hery S.
Titik Nol bercerita tentang Siti, Sukran, dan Sofyan. Siti seorang muslim Malaysia dan Sukran adalah seorang Aceh yang memiliki hubungan dengan Sofyan. Kehidupan Sofyan sedikit banyak dipengaruhi situasi politik di Aceh. Keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia memengaruhi kehidupan masyarakat Aceh. Tapi, bagaimana semua ini memengaruhi Siti, seorang wanita yang hidup di Malaysia? Ketika tsunami memorak-porandakan tanah Aceh dan Sofyan menghilang, kehidupan mereka semakin sulit.
Ketika seseorang hilang, kita terus berharap dia akan kembali, tetapi berapa lama kita harus menunggu? Akhirnya kita membutuhkan kepastian. Ketika seseorang dalam hidup kita menghilang, kita hanya dapat menunggu dan berharap bahwa yang hilang akan kembali. Akan tetapi, sampai kapan kita akan menunggu? Pada akhirnya, kita hanya ingin kepastian bahwa yang hilang memang tidak akan kembali. Dengan gabungan antara film pendek dan teater, Agnes Christina asal Indonesia ini pastinya beda sama pertunjukan teater biasa.
Pementasan ini sendiri didukung pula oleh National Arts Council Singapore, The Substation Singapore, Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dan Hotel Formule. (tim)

0 komentar:

Posting Komentar