Minggu, 04 Maret 2012

Tubuh dan Bentuk dalam Pameran Fotografi


Dalam rangkaian seri kuliah umum di Serambi Salihara, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Komunitas Salihara ikut mamerkan fotografi karya Nico Dharmajungen hasil kurasi Firman Ichsan yang diberi judul Tubuh dan Bentuk di Galeri Salihara, mulai 3-24 Maret 2012. Pameran ini dikhususkan untuk 18 tahun ke atas dan masuk harus melalui prosedur ketat yang diawasi. Karena memang karya-karya foto ini mengharuskan demikian. Tapi ini bukan pameran foto pornografi. Karena itu, seri kuliah umum inilah letak keberhubungannya.

Direktur Program Komunitas Salihara Nirwan Dewanto mengatakan, pornografi berpretensi menyajikan tubuh dalam keseluruhannya, tapi segera ia mencacahnya untuk menampilkan onderdil-onderdil belaka, potongan-potongan mesin birahi. Sesekali pornografi menampilkan sepotong dua wajah penuh belas kasih supaya mesin itu masih tampak manusiawi, klog dengan si mata-mata beradab yang menyihir dan disihirnya.

“Kita takut atau enggan pandangan terhadap tubuh yang tidak diberlakukan secara adil dan bijaksana. Maka pornografi sebagai mata-mata yang terus mencari sesuatu dengan mengintip demi kepuasan diri sendiri, pornografi sekaligus bertindak sebagai penindas yang melakukan pencarian kepuasan diri sendiri. Tapi dalam pameran ini, tidak ada dan tidak akan ditemukan pornografi. Ini beda dengan pornografi,” bela Nirwanto Dewanto, dalam pembukaan pameran foto Sabtu (3/3) malam.

Foto-foto Nico Dharmajungen dalam pameran ini, lanjut Nirwan, teranglah menantang pornografi. Wajah-wajah perempuan terpotret tertutup oleh objek khusus yang seringkali menjauhkan kita dari nafsu birahi. Objek itu sama sekali dating ari luar sana, tak terjelaskan, memberikan efek pengasingan yang kuat bagi si pemandang. Atau foto-foto itu memang tak berwajah: sang fotografer telah memotongnya. Situasi tanpa wajah itu jelaslah membuat kita batal menajdi pengintip. Berbeda dari pornografi, subjek-subjek terpotret itu tak berpretensi jadi manusia.

Meski sosok-sosok jepretan Nico kerap menghadap telak kea rah kita, mereka tak akan menantang kita. Malah terkesan mereka hendak surut, menyembunyikan diri, seperti hendak ke latar yang jauh, tempat objek-objek yang menutup wjah mereka terpenggal. Dengan penggayaan dan pencahayaan yang tertib, tampaklah watak kepatungan dari torso-torso itu. Sesuatu mungkin lebih bersifat klasik ketimbang kontemporer.

Ini jelas berseberangan dengan erotisisme yang ditampilkan oleh misalnya, foto-foto Nobuyoshi Araki dan Roy Stuart. Subjek-subjek mereka seringkali berpaling dari atau menyepelekan si pemandang, namun serentak dengan itu mereka menantang dengan sepenuh daya. Meledak, memprovokasi, sambil menyiratkan konteks budaya pemotretan, itulah karya Araki dan Stuart. Adapun karya-karya Nico berlaku rendah hati dengan menghilangkan konteks apa pun. Tapi keadaan tanpa konteks tidaklah menghilangkan kehangatan. Payudara, perut, bahu, paha, leher, semua itu tentu saja masih menularkan denyut. Demikian pula farji yang selalu saja tersembunyi atau hamper tersembunyi. Yang hangat akan tetap hangat, dan tak akan jadi panas, melainkan bergantian denganr asa dingin dan berjarak yang ditimbulkan oleh tertutupnya atau hilangnya si kepala. Demikian dualisme dalam foto-foto itu. Seperti halnya watak klasik yang ditimbulkan torso-torso itu, toh seketika menjelma kontemporer oleh misalnya, imbuhan surreal penutup kepala itu.

Foto-foto Nico sebagaimana dikatakan curator Firman Ichsan dan Irma Chantily, tidak menempatkan tubuh perempuan bagi sapuan pandang lelaki. Bagi kita, itu berarti bahwa karya-karya itu penting bagi pemandang yang dewasa, bagi mata yang sudah berhenti sebagai mata-mata dan jika foto-foto itu tidak memberikan penekanan pad asuatu pusat perhatian, maka itu juga berarti bahwa karya-karya itu memang melenyapkan focus nafsu birahi, demi menyajikan pengalaman kebertubuhan yang wajar.

Masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang mampu bersikap adil pada tubuh dan ketelanjangan.

Karya ini boleh pula dibeli bagi pemandang yang berminat. Karya foto yang sudah dicopy maksimal tiga kali ini dibandrol Rp 10 juta sampai Rp 120 juta untuk yang paket seri sebanyak enam bingkai. Setiap foto diberi sertifikat untuk menjaga keaslian dan hak paten. (tim)

0 komentar:

Posting Komentar