Festival Teater Jakarta (FTJ) telah memasuki usianya yang ke-40 pada tahun 2012 ini. Di usia memasuki akilbaligh-nya yang ke-dua ini, FTJ 2012 akan membingkai helatannya dengan tema “Membaca Tradisi”. Sebuah tema yang bukan saja sekedar jargon event tetapi menjadi tolak dan tolok ukur penilaian juri terhadap penampilan para peserta FTJ 2012 mulai dari pelaksanaan tingkat wilayah kota administrasi (babak penyisihan) sampai ke tingkat provinsi DKI Jakarta (babak final).
Pembacaan terhadap tradisi akan menjadi cermin estetika (baik isi maupun bentuk) pentas drama peserta FTJ 2012. FTJ 2012 akan mulai digelar di tingkat wilayah (babak penyisihan) pada Juni dan Juli 2012. Sedangkan babak finalnya (tingkat provinsi DKI Jakarta) akan dilangsungkan pada akhir November – awal Desember 2012.
Mengingat persyaratan penampilan peserta FTJ 2012 tersebut di atas, yang berkenaan dengan tema “Membaca Tradisi”, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menganggap perlu dan penting untuk mengadakan diskusi tentang “Teater dalam Membaca Tradisi” sebagai wahana pergulatan pemikiran sekaligus memberi peluang pemahaman tentang apa itu “tradisi” dan bagaimana “Teater Membaca Tradisi”? bagi teman-teman pekerja teater serta khususnya (calon) peserta FTJ 2012. Sehingga diharapkan diskusi ini akan memberi tidak saja informasi pengetahuan (ranah kognisi), tetapi bisa meresap menjadi sikap/pemahaman (ranah afeksi) juga syukur-syukur akan teraplikasikan dalam tindak (psikomotor) pelaku/pekerja teater khususnya (calon) peserta FTJ 2012.
Teater Membaca Tradisi
Memang, bukanlah hal baru mengupas kegelisahan kehidupan kesenian kita khususnya teater dalam membaca tradisi atau nilai-nilai yang mengakar di bumi pertiwi ini. Setidaknya wacana menengok tradisi sebagai alternatif bagi teater Indonesia modern telah banyak dikupas pada dekade 1970-an sampai 1980-an. Jika kita mengungkapnya kembali persoalan tradisi dalam teater di tahun sekarang ini sepertinya kita menggelar bancakan seonggok makanan basi yang telah mengeras dan jamuran. Tapi benarkah membicarakan tradisi sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan perteateran mutakhir kita?
Gerakan penggalian akar budaya lokal memang telah dilakukan oleh para dramawan-dramawan Indonesia sejak pengujung tahun 1960-an. Arifin C. Noer, Rendra, Putu Wijaya, Ikranegara, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Saini KM kemudian disusul oleh Chairul Harun, Wisran Hadi, Aspar Paturusi, B.M. Syam dan N. Riantiarno adalah nama yang bisa kita sebut sebagai dramawan yang serius melakukan semacam pencarian akar tradisi lokal pada pementasan-pementasan teater mereka. Sebagian dari mereka telah berpulang, beberapa nama telah tak produktif, hanya Putu Wijaya dan N. Riantiarno saja yang masih terus berjibaku mengolah kreatifitas dengan pentas-pentasnya. Walau kita juga tidak mengesampingkan peran dramawan yang relatif masih muda seperti Butet Kertarejasa, Dindon WS, Iswadi Pratama, Yudi Tajudin, Iman Soleh, dan beberapa dramawan muda lainnya, yang melalui karya-karya pentasnya, mereka berupaya melakukan semacam interkulturalisme dalam teater.
Inilah fakta, bahwa teater Indonesia modern merupakan produk dari dialog yang terus menerus antara elemen-elemen Barat dengan Timur. Menurut Saini KM dalam buku “Interkulturalisme (dalam) Teater” terbitan Yayasan Untuk Indonesia, tahun 2000, para teaterawan kita mengambil kepadatan struktural dari Barat yang sangat penting untuk diekspresikan dalam tema-tema dalam batas waktu yang diizinkan dalam pertunjukan kontemporer. Pada pihak lain, mereka mengambil kekayaan imajinasi dan simbol-simbol dari kesenian Timur sebagai penekanannya. Pergulatan yang demikian intensif dengan dua kutub budaya itu membuat para teaterawan kita seperti tidak merasa bahwa mereka mengaku sebagai pemilik gaya Brechtian lantaran mirip longser Sunda dan ketoprak Jawa, serta pemilik gaya Artaudan lantaran mirip dengan teater tradisional Bali.
Dari fakta-fakta di atas menunjukkan pada kita bahwa perjalanan teater Indonesia modern selalu ditandai oleh adanya pergulatan terus menerus dari gejala-gejala sosio-kultural. Baik dari gejala kebudayaan yang ada dan mengakar di bumi pertiwi ini yang kemudian sering kita sebut sebagai tradisi serta budaya yang masuk dari luar yang pada percampurannya melahirkan budaya kontemporer. Sebagaimana kodratnya bahwa semua kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Antropolog William A. Haviland (1988) mensinyalir setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Penyebab kedua, terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Teater sebagai salah satu media ekspresi kebudayaan manusia tentunya tidak akan tinggal diam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Pada perkembangannya teater bisa menjadi berbanding lurus dengan dinamika kebudayaan manusia. Pada sisi inilah, argumentasi mengangkat kembali wacana membaca dan atau menengok tradisi mendapat penguatan. Kita tidak lagi punya paradigma sempit memandang tradisi sebagai sebatas “benda museum”, artefak kuno, nilai-nilai jadul, “benda mati”, karena sejatinya tradisi bersifat dinamis. (dkj)
Pembacaan terhadap tradisi akan menjadi cermin estetika (baik isi maupun bentuk) pentas drama peserta FTJ 2012. FTJ 2012 akan mulai digelar di tingkat wilayah (babak penyisihan) pada Juni dan Juli 2012. Sedangkan babak finalnya (tingkat provinsi DKI Jakarta) akan dilangsungkan pada akhir November – awal Desember 2012.
Mengingat persyaratan penampilan peserta FTJ 2012 tersebut di atas, yang berkenaan dengan tema “Membaca Tradisi”, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menganggap perlu dan penting untuk mengadakan diskusi tentang “Teater dalam Membaca Tradisi” sebagai wahana pergulatan pemikiran sekaligus memberi peluang pemahaman tentang apa itu “tradisi” dan bagaimana “Teater Membaca Tradisi”? bagi teman-teman pekerja teater serta khususnya (calon) peserta FTJ 2012. Sehingga diharapkan diskusi ini akan memberi tidak saja informasi pengetahuan (ranah kognisi), tetapi bisa meresap menjadi sikap/pemahaman (ranah afeksi) juga syukur-syukur akan teraplikasikan dalam tindak (psikomotor) pelaku/pekerja teater khususnya (calon) peserta FTJ 2012.
Teater Membaca Tradisi
Memang, bukanlah hal baru mengupas kegelisahan kehidupan kesenian kita khususnya teater dalam membaca tradisi atau nilai-nilai yang mengakar di bumi pertiwi ini. Setidaknya wacana menengok tradisi sebagai alternatif bagi teater Indonesia modern telah banyak dikupas pada dekade 1970-an sampai 1980-an. Jika kita mengungkapnya kembali persoalan tradisi dalam teater di tahun sekarang ini sepertinya kita menggelar bancakan seonggok makanan basi yang telah mengeras dan jamuran. Tapi benarkah membicarakan tradisi sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan perteateran mutakhir kita?
Gerakan penggalian akar budaya lokal memang telah dilakukan oleh para dramawan-dramawan Indonesia sejak pengujung tahun 1960-an. Arifin C. Noer, Rendra, Putu Wijaya, Ikranegara, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Saini KM kemudian disusul oleh Chairul Harun, Wisran Hadi, Aspar Paturusi, B.M. Syam dan N. Riantiarno adalah nama yang bisa kita sebut sebagai dramawan yang serius melakukan semacam pencarian akar tradisi lokal pada pementasan-pementasan teater mereka. Sebagian dari mereka telah berpulang, beberapa nama telah tak produktif, hanya Putu Wijaya dan N. Riantiarno saja yang masih terus berjibaku mengolah kreatifitas dengan pentas-pentasnya. Walau kita juga tidak mengesampingkan peran dramawan yang relatif masih muda seperti Butet Kertarejasa, Dindon WS, Iswadi Pratama, Yudi Tajudin, Iman Soleh, dan beberapa dramawan muda lainnya, yang melalui karya-karya pentasnya, mereka berupaya melakukan semacam interkulturalisme dalam teater.
Inilah fakta, bahwa teater Indonesia modern merupakan produk dari dialog yang terus menerus antara elemen-elemen Barat dengan Timur. Menurut Saini KM dalam buku “Interkulturalisme (dalam) Teater” terbitan Yayasan Untuk Indonesia, tahun 2000, para teaterawan kita mengambil kepadatan struktural dari Barat yang sangat penting untuk diekspresikan dalam tema-tema dalam batas waktu yang diizinkan dalam pertunjukan kontemporer. Pada pihak lain, mereka mengambil kekayaan imajinasi dan simbol-simbol dari kesenian Timur sebagai penekanannya. Pergulatan yang demikian intensif dengan dua kutub budaya itu membuat para teaterawan kita seperti tidak merasa bahwa mereka mengaku sebagai pemilik gaya Brechtian lantaran mirip longser Sunda dan ketoprak Jawa, serta pemilik gaya Artaudan lantaran mirip dengan teater tradisional Bali.
Dari fakta-fakta di atas menunjukkan pada kita bahwa perjalanan teater Indonesia modern selalu ditandai oleh adanya pergulatan terus menerus dari gejala-gejala sosio-kultural. Baik dari gejala kebudayaan yang ada dan mengakar di bumi pertiwi ini yang kemudian sering kita sebut sebagai tradisi serta budaya yang masuk dari luar yang pada percampurannya melahirkan budaya kontemporer. Sebagaimana kodratnya bahwa semua kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Antropolog William A. Haviland (1988) mensinyalir setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Penyebab kedua, terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Teater sebagai salah satu media ekspresi kebudayaan manusia tentunya tidak akan tinggal diam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Pada perkembangannya teater bisa menjadi berbanding lurus dengan dinamika kebudayaan manusia. Pada sisi inilah, argumentasi mengangkat kembali wacana membaca dan atau menengok tradisi mendapat penguatan. Kita tidak lagi punya paradigma sempit memandang tradisi sebagai sebatas “benda museum”, artefak kuno, nilai-nilai jadul, “benda mati”, karena sejatinya tradisi bersifat dinamis. (dkj)
0 komentar:
Posting Komentar