Senin, 02 Januari 2012

We The Happy Family - Stock Teater Kritik Sosial Keluarga dengan Bentuk Pertunjukan Tak Biasa

Konflik internal dalam keluarga, masih subur untuk pilihan bentuk pertunjukkan teater. Dalam produksi ke-17, Stock Teater pun ikut mengangkat tema keluarga dengan tajuk We The Happy Family. Naskah karya Totos Rasity yang sekaligus menyutradarai, akan pentas di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, pada 7-8 Januari 2011, pukul 20.00 WIB.

Untuk pentas kali ini, Stock Teater bekerjasama dengan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) dan sedang dalam proses negosiasi dengan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Ini sesuai cerita yang diangkat tentang materialistis yang dihubungkan dengan keluarga bahagia.

“Kita coba bangun hubungan harmonis yang tidak tercapai titik temu dengan materi. Karena adanya hubungan tema keluarga, maka kami optimis bisa mengajak kerjasama pemerintah dalam hal ini BKKBN. Tujuannya untuk membiayai artistik, seperti audio visual. Untuk anggaran gedung atau akomodasi, kami sudah bekerjasama dengan PKJ. Karena ada satu kesamaan visi dalam bentuk keluarga bahagia lewat keluarga berencana,” ungkap Fritz Fahrizal MSP, asisten sutradara, di sela-sela latihan di gedung Teater Luwes, IKJ, Selasa (22/11).

Meskipun tema naskah cenderung klasik, tapi menurut Fritz, ada bentuk istimewa yang jadi penawaran menarik bagi penonton. “Jika selama ini yang jadi contoh bagi penonton adalah yang baik-baik, maka pertunjukkan kami justru sebaliknya. Mengangkat cerita dan menjadi contoh adalah keluarga yang jelek atau salah. Kami menyampaikan kritik sosial dengan contoh keluarga yang tidak baik. Itu yang kami yakini jadi daya tarik,” papar Fritz yang didampingi tiga asisten sutradra, Moch Sen, Firsty dan Indra Acoy. Keempat asisten sutradara ini di bawah lead sutradara Totos Rasity yang terbagi dua asisten sutradara teknis dan dua asisten sutradara pengadeganan.

Surealis

Menurut Firsty, naskahnya memang tergolong realis. Tapi bentuk pertunjukan akan surealis. Karena banyak adegan imajinasi berupa flashback dari kejadian integrasi. Ambil contoh, tokoh Rocky yang kerjanya nonton teve dan baca buku apa saja. Tapi tidak pernah mau sekolah. Sehingga dia diperlakukan oleh keluarganya dengan tidak baik. Dibilang bodoh, pemalas, dan sejenisnya. Untuk tidak sekadar menampilkan adegan riil, Stock akan menampilkan perwujudan dari imajinasi Rocky. Seperti tokoh Joker dalam film Batman Dark.

“Pada akhirnya semua pemain sebanyak 20 orang itu, hanya menyisakan seorang anak yang masih hidup. Itu terjadi dalam adegan pembunuhan akibat konflik yang diselimuti kepentingan masing-masing yang kemudian dibenturkan.

Yang menarik, ibunya yang mengajak foto keluarga seperti koleksi yang pernah ada dan itu dilakukan di studio foto yang lama. Walaupun semua mau ikut, tapi tetap masih menyimpan kepentingan masing-masing. Ketika satu orang yang memberi aba-aba, maka meledak di sini adegan saling bunuh itu,” ulasnya.

Bagi sebagian penonton Stock Teater, naskah ini sebenarnya pernah dipentaskan di gedung TUK (Teater Utan Kayu), Rawamangun, Jakarta Timur, tahun 2006. Tapi menurut Firsty, pentas di TUK hanya satu adegan yang khusus adegan anak-anak. Sementara naskah setebal 64 halaman ini menyimpan 46 adegan. “Pertunjukkan nanti akan lebih lengkap dan menyeluruh. Sehingga beda jauh nanti dengan yang pernah dipentaskan di TUK. Contoh, tokoh anak bungsu bernama Lita sekarang punya pasangan lesbian dengan galau biseksual. Ini pengembangan adegan yang mengentalkan persoalan,” imbuhnya.

Di bagian nonteknis, seperti bentuk pemanggungannya, Fritz mengatakan, akan di panggung catwalk yang sampai ke bangku penonton. Jadi setnya pun menawarkan yang tidak biasa. Karena terjadi perpindahan set dikombinasi media proyektor yang menguatkan artistik utama.

Saat ini mereka masih tahap reading. “Kami memang baru tahap reading untuk menghidupkan dialog dan mengejar isi setiap adegan. Sehingga saat pengadegannya tidak ada masalah,” pungkasnya.(aseng)

0 komentar:

Posting Komentar