Selasa, 08 November 2011

Pentas Teater Mastodon dan Burung Kondor: Stamina yang Melorot!

Oleh Dwi Klik Santosa

Pementasan Mastodon dan Burung Kondor (foto: ari saputra/detik foto)
PEMENTASAN Teater Mastodon dan Burung Kondor oleh Ken Zuraida Project di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, pada hari pertama tadi malam, Kamis, 11 Agustus 2011 dimulai jam 20.30 terasa lambat. Ya, begitulah, menurut pengamatan dan perhitungan saya. Tempo adegan turun dari derajat yang semestinya. Sehingga terkesan agak sedikit kosong dan menjemukan.
Mencoba detil mengamati apa yang terjadi pada alur proses pementasan ini, kurang lebih adalah faktor stamina. Sangat dimaklumi. Bukan notabene menjadikan puasa sebagai alasan, namun memang kenyataannya puasa adalah rentang ruang yang menguras stamina. Namun, saya rasa, ini terlalu berlebihan. Bagaimana pun puasa adalah hal yang biasa bagi para pencari apalagi pejuang. Jika masih harus menjadikan itu alasan bagi turunnya stamina…waduuuhh gaswaat!
Secara logis, terkurasnya stamina itu, mungkin, dikarenakan energi yang ditumpahkan agak berlebihan sewaktu Gladi Resik. Faktor pementasan secara utuh pada waktu yang pertama kali, saya amati seringkali menjadi debaran tersendiri bagi para aktor untuk unjuk diri. Karena tampil agak ngotot, begitulah akibatnya, di hari berikutnya stamina agak kedodoran.
Hal ini nampak terlihat dari Awan Sanwani, aktor kawak Bengkel Teater Rendra, yang sangat-sangat bagus sewaktu GR memainkan perannya sebagai sang tiran, Kolonel Max Carlos. Ide-ide gerak teatrikal selama latihan di Padepokan Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok, belum muncul saya perhatikan. Begitu ia bersentuhan dengan panggung yang sesungguhnya dan menghadapi publik, maka begitulah, kekenesan itu tergali oleh akting yang brilian, supaya sepenuhnya ia mampu meraih perhatian penonton.
Apalagi malam itu ada 50an wartawan menontonnya. Juga para seniman; sutradara teater, sineas dan sebagainya. Namun, bagaimana pun, Awan Sanwani adalah singa panggung, meski malam tadi suaranya yang serak-serak berat itu pada awalnya menggelegar memukau, lambat laun serak-serak habis …. Dan, banyak akal ia lakukan.
Menyadari suaranya tak mampu mengangkat perhatian atau malah cenderung mendatangkan gelisah penonton, ia pun improvisasi dengan memberdayakan bahasa badannya untuk mencuri hati penonton. Saya rasa, semangat berakting dari beliau ini luar biasa. Pemakluman yang indah. Karena tak surut atau tak menjadikan ia kilaf atau teledor untuk terus maju menjalankan misinya.
Totenk Mahdasi Tatang sebagai Jose Karosta sang penyair, seperti biasanya, gahar dan lugas dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan puitisnya. Menjadi pembuka, penengah sekaligus penutup dalam rentetan adegan, adalah tugas yang sangat berat baginya untuk menghidupkan segala suasana. Secara individual, aktingnya lumayan dan cukup kuat. Namun, misteri panggung secara utuh, yang tidak hanya membutuhkan kekuatan akting per individu para aktornya, terasa sekali kedodoran.
Tak dapat dipungkiri, Jose Karosta dalam lakon ini adalah kunci bagi mengalirnya harmonisasi ritme itu. Ketika dari awal, atau pada saat di tengah dan atau ketika mendekati klimaks sedikit saja ia lengah, begitulah…tempo pementasan jadi merosot pelan, mempengaruhi yang lain dan sedikit menganggu dramatisasi sebagai target puncak katarsis atau orgasme gejolak perasaan penonton.
Namun, meski begitu, menurut saya mencoba mengkritisi drama tadi malam, berjalan tidak seperti apa menjadi keinginan dan pengharapan saya. 75% saja kira-kira sebagaimana target dalam kalkulasi saya tercapai. Para pemain seperti Angin Kamajaya, yang aktor dari UIN Syarif Hidayatullah itu, sangat kuat sebagai Juan Frederico, sosok pemimpin dewan revolusioner. Bahkan, menurut saya, ia yang paling konsisten selama alur berjalan dalam unjuk gelegar bahasa verbal maupun eksperimen gerak-gerak hidup…Konsistensi yang hebat itu kiranya mampu memantik atau mengangkat spirit yang lain untuk terpancing pula mengimbangi kegagahan itu dalam unjuk akting.
Adalah seorang Joobert Mogot yang suka dipanggil Ube. Ia berperan sebagai Hernandes, seorang aktivis demonstran yang fanatik. Meski suaranya tidak senyaring dan seprovokatif Frederico, namun ia pandai memainkan tempo. Baik gerak tubuh maupun olahan kalimat-kalimat … terasa efektif sekali dari apa yang ia hayati dan rasuki sebagai seorang demonstran yang fanatik. Bravo!
Satu lagi cukup memukau perhatian saya. Peran seorang Maryam Supraba yang suka dipanggil Meimei. Agak mengejutkan bagi saya, atas apa yang disajikan oleh putri bungsu sang sutradara ini. Cukup jauh beda itu ketika saya bandingkan dalam kiprahnya kali ini dengan ketika sewaktu ia berakting membawakan sosok Mongkleng, simbol dewi kegelapan pada pementasan Sobrat tahun 2005 yang lampau. Sebagai penyanyi satire dalam iringan adegan-adegan melankoli, suaranya yang keluar bukan dari nada dalam yang sesungguhnya khas darinya itu alias yang dibuat-buat demi untuk memenuhi kebutuhan ruang … sangat-sangat indah. Sampai-sampai seorang Pratiwi Setyaningrum, salah seorang penonton yang aktivis sastra populer saat kini, dalam dua kali pertemuan saya dengannya dalam dua hari yang beda dua hari kemarin, terus menanyakan perihalnya …“itu suaranya purba sekali. Kapan ya, bisa menyaksikan lagi ia nyanyi begitu di konser tunggal…”
Pun, sebagai Fabiola Andrez, aktivis mahasiswa fanatik dari salah satu provinsi yang ia katakan sebagai produsen ratu kecantikan dan pemasok bibit-bibit unggul pemilik aduhai pinggul dan dada, serta umpan revolusi bagi sang penyair yang suka hiburan berbentuk dewi kesenian yang semampai itu, lumayan bagus. Cukup mumpuni ia membawakan perannya. Vokalnya jelas, tempo juga bisa ia mainkan cukup kuat menarik atensi penonton dan pula tubuhnya yang sintal itu memang unik dalam karakter dandan yang menor ala Amerika Latino…
Dalam adegan rapat-rapat dewan revolusi sangat bagus menurut saya. Begitupun derak perang atau adu strategi perang antara kaum revolusioner dan Kolonel Max Carlos cukup menjadikan urat-urat penonton menegang dan serius menyimak. “Rendra memang jenius!” Begitu satu celutukan dari penonton malam itu tertangkap oleh telinga saya. Dan ketika saya teliti si penimbul suara…ia salah seorang aktivis tahun 1980-an. Begitulah… drama ini memang konstekstual pada era 1973an itu yang pernah menggegerkan dalam sejarah pergerakan, yang konon katanya menjadi inspirasi bagi meledaknya peristiwa 15 Januari 1974, atau MALARI.
Dan tanpa mengabaikan peran-peran yang lainya. Saya rasa, para aktor secara keseluruhan bermain cukup apik. Alam sadar mereka untuk meruang sebagai aktor panggung, pembawa amanah naskah dan beban sutradara, cukup terjaga. Begitupun peran musik yang dikomando Lawe Samagaha cukup mengalir mengilustrasi suasana Ngamerika Latin, meski sesekali ada senggakan pentatonik Jawa yang cukup terasa tertangkap telinga. Begitupun dengan tata lampu dan artistik panggung…meski agak janggal sedikit, karen pilar beton yang semestinya kokoh itu, nampak goyang-goyang… Dan juga ada noise pada tata suara di beberapa adegan…kiranya cukup mengganggu.
400an penonton. Ada tokoh-tokoh pergerakan hadir disitu. Rizal Ramli, Hariman Siregar, Anis Baswedan, Hamid Basyaib dan juga aktivis-aktivis mahasiswa era Soeharto tahun 1990an… Cukup setia! Dari awal hingga akhir selama 2,5 jam tak beranjak dari tempatnya duduk.
Semoga pada pementasan malam nanti dan 2 hari ke depan, semua awak mampu mengoreksi kekurangan dan kelemahannya. Sehingga, persembahan mereka yang sebagus-bagusnya dan sehebat-hebatnya akan memenuhi harapan keterwakilan hadirin, yang konon pada hari ini, dari up date kemarin, tiket sudah ludas terjual 75 %. Dan khusus di hari Sabtu, sudah mendekati 80%, dan Minggunya, 75% pula.
Sekian. BRAVO KESENIAN INDONESIA!
Zentha
12 Agutus 2011
: 08.oo
(foto: ari saputra/detik foto)

0 komentar:

Posting Komentar