Senin, 09 April 2012

Teater Stasiun Pentaskan Reportoar Sabun Colek

Pemain Teater Stasiun Latihan pada Salah Satu Adegan Reportoar Sabun Colek

Lama grup teater senior jebolan Festival Teater Jakarta (FTJ), Teater Stasiun tidak menggelar produksi. Terakhir pementasan grup yang berbasi di wilayah Jakarta Barat ini, naskah Teroris di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, pada 2006. Sutradara sekaligus penulis naskah Reportoar Sabun Colek Ediyan Munaedi mengatakan, proses produksinya yang akan ditampilkan di Bentara Budaya Jakarta, pada 3 Mei 2012, pukul 20.00 WIB, ini terbilang cukup lama. Ketahuan mulai proses rutin saja, selama tujuh bulan.
Selama waktu itu, Ediyan memproses naskah secara improvisasi hingga akhirnya menjadi naskah utuh yang namanya naskah setelah lebih dari tiga bulan. Jadi setiap latihan dia mencatat dialog yang sudah diucapkan pemain. Kadang berganti dialog dan bisa berganti pada hari lain. Tapi setelah ditemukan dialog secara kualitas baru dimatangkan tanpa terjadi pergantian dan mulai ditulis. Jadi menurut Ediyan, naskahnya dibuat lembar per lembar dengan melihat persoalan di lingkungan rumahnya. Dia melakukan obrolan-karena tak mau disebut investigasi- pada warga yang jadi target atau objek penulisan naskahnya. Kemudian dapat selembar dibawa untuk laithan. Begitu proses terjadinya penulisan naskah secara utuh.
“Memang proses produksi ini cukup lama. Lebih dari tujuh bulan. Ini bisa lebih lama lagi waktunya kalau dihitung dari semangatnya. Produksi ini sebenarnya semangat lama yang timbul tenggelam sesuai timing. Proses naskahnya cukup panjang juga, persisnya setelah habis produksi Teroris tahun 2006. Karena saat itu, aku memang sudah punya semangat untuk menulis naskah sendiri. Ini terutama karena kegemasanku pada kondisi lingkungan di tempat tinggalku (di kawasan Angke, Jakarta Barat,red). Tapi terganggu sama produk lain, seperti The Bomber yang tidak sempat dipentaskan. Padahal sampai bloking pengadeganan,” ungkap panjang Ediyan Munaedi, sutradara Teater Stasiun di sela-sela latihan grupnya di Gelanggang Remaja Jakarta Barat (GRJB), Grogol, Sabtu (31/3).
Semangat produksi Reportoar Sabun Colek ini, menurut Ediyan, terhenti lagi. Karena teman-temannya sempat bersemangat untuk menggarap naskah Menunggu Godot. Ini pun sempat proses panjang bahkan sudah bloking pengadeganan selama tiga bulan. “Sampai akhirnya aku menemukan Menunggu Godot di lingkunganku sendiri karena Menunggu Godot yang sebenarnya gagal juga dipentaskan. Jadi produksi Reportoar Sabun Colek ini lahir dari proses latihan ke proses latihan yang terputus-putus. Lalu disambung setiap tumbuh semangat yang lama pada reportoar ini. Jadi ini bukan naskah imajinatif, tapi naskah kisah nyata dari daerah rumahku,” ulas Ediyan yang telah memenangkan Teater Stasiun sebanyak tiga kali dalam FTJ.
Awalnya ada empat bagian, rinci dia, tapi karena kepanjangan dipendekkan menjadi tiga bagian dengan durasi hampir dua jam nanti pementasannya. Tiga bagian itu terdiri dari kisah Tukang Bajaj, Tukang Ojek, dan Ibu. Menurutnya, tiga kisah nyata merupakan absuditas kaum Sabun Colek. Jadi konsep dibalik produksi ini, Ediyan merekam dari dalam komunitas warga di lingkungannya itu ada dilematis. Rekaman ini dipicu bacaan berita di Poskota dan Koran Lampu Hijau. “Awal-awal sekali, aku terinspirasi karena baca dua Koran itu. Aku temukan kenyataan bahwa mereka hadir tanpa perencanaan, tapi tidak bisa keluar. Baca Koran itu, sepertinya biasa, tapi kalau buat mereka itu sama saja tragedi. Di sini absurd juga. Ada cerita misalnya, pasangan suami istri yang hidup selama 21 tahun bersama, tapi suaminya pengangguran. Mereka punya anak dan anaknya ini juga memiliki problem tersendiri lagi. Nah, itu di dalam lingkungan yanga kecil dan dalam lingkungan besarnya,ya,pada
Negara ini,” urainya.
Realita ada penguasa dan pengusaha, selanjutnya ada media seperti televise yang begitu dominan karena menciptakan informasi-informasi yang hadir sebagai sebuah ralitas baru. “Bayangkan orang menonton televise berita kenaikkan BBM yang menyebut Jakarta lumpuh. Begitu pun di media cetak isinya kurang lebih begitu. Ternyata warga di lingkungan rumahku begitu takut keluar rumah. Padahal waktu aku keluar dan kucoba melihat demonstrasi menolak kenaikkan BBM itu, tidak ada apa-apa. Lalu lintas berjalan normal. Paling di jalan yang berada di depan gedung DPR MPR, Senayan. Karena memang di sana jadi basis demonstrasi. Itu wajar, tapi rakyat lemah menerima ini seperti terror,” ujar Ediyan mengutip cerita di naskahnya.
Adapun yang menjadi target dari produksinya di luar konsep pementasan, Ediyan mengatakan, selama ini kita tidak pernah peduli dengan persoalan-persoalan kecil yang lebih dalam. “Ternyata kita jadi sebuah tragedi sekaligus hiburan. Problem kita itu sebagai candaan kita. Ini kan tragedi namanya. Realitas ada warga yang merasakan tragedy, tapi tidak ada empati kita. Jadi dari pementasan ini, kami ingin terjadinya empati itu, kalau tidak bisa pada penonton, minimal pada komunitas kami. Jadi tidak Cuma simpati dan empati, tapi terlibat. Kami mendorong bisa hadir sebagai manusia utuh di lingkungan kami masing-masing, terutama pada situasi yang sama pada cerita naskah Reportoar Sabun Colek ini. Jadi pelaku bisa ikut larut dan baur tidak memendamnya sendirian,” tutupnya. (sng)

0 komentar:

Posting Komentar