Sabtu, 17 Maret 2012

Dramawan Singapura Beri Workshop Tata Cahaya Panggung

Penata Cahaya dari ACP, Mohammad Helmi Fita (berkaos merah) memberikan pengenalan alat light dalam workshop di TIM yang diselenggarakan DKJ bareng ACP.



Agnes Christina Project (ACP) asal Singapura bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan menggelar pementasan bertajuk Titik Nol di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Jumat-Sabtu (16-17/3). ACP melakukan kolaborasi dengan seniman Indonesia Agus Nur Amal dan Emanorwaty Saleh (Singapura) disutradarai langsung oleh Agnes Christina. Dalam rangkaian pementasan Titik Nol itu, dilakukan workshop Pencahayaan Dalam Teater dengan instruktur lighter designer (piñata cahaya) Singapura Mohammed Helmi Fita di tempat yang sama, pada Rabu (14/3), kemarin.

Dalam workshop itu, Helmi mengemukan perlunya pengenalan mendetail terhadap seperangkat alat lampu untuk tata cahaya. Kalau di Singapura, ada pembelajaran di perguruan tinggi bidang kesenian khusus tentang lampu. Sehingga seorang piñata cahaya mengenal tipe-tipe dan klasifikasi lampu, fungsi, merek, karakter , ukuran, dan semua terkait dalam spesifikasi satu unit lampu.

“Kalau di Singapura ada pengetahuan tentang alat lampu itu sendiri secara khusus. Sehingga kita bisa mengetahui cara pakai dan penggunaannya. Maka itu, seorang piñata lampu itu harus menyanyi lampu, seperti kita menyanyi anak. Karena lampu itu tempat kita menumpahkan kreatifitas. Paling tidak kita harus selalu member apresiate pada lampu-lampu panggung itu. Apresiate ini sebagai bentuk saying kita padanya supaya lampu itu pun memberi kita kemudahan. Misalnya, tidak tiba-tiba mati atau rusak dan tidak menyulitkan saat pemasangan,” papar Helmi dalam bahasa Inggris dari puluhan peserta workshop yang berasal dari seluruh Indonesia.

Menurut dia, ada empat kelompok lampu yang vital dalam setiap satu pementasan. Yaitu kelompok lampu Parcan atau Par, Profil, PC (Presnel Compact), dan Pressnel. Bagi dia, lampu yang paling hebat adalah profil. Lampu ini dinilainya sebagai sebuah magic. Karena bisa memberi efek macam-macam yang menakjubkan, terutama untuk focus pada kreatifitas si piñata lampu. “PC juga hebat karena bisa sinarnya bisa mengecil dan membesar. “Karena itu, penting mengetahui lebih dulu tentang alat lampu itu. Baru kita cari tahu fungsi dalam menyatukan atau kebutuhan suasana adegan. Aneh, kalau kita butuh adegan tertentu, ternyata piñata lampu salah member perwujudan dari kreatifitas si sutradara. Apalagi kalau si sutradara pun tidak tahu juga soal lampu,” sindir pria yang punya pengalaman sebagai piñata lampu di berbagai Negara, seperti India, Korea, dan Jepang.

Sementara itu, sutradara Teater Kolom Hery S mengaku di Indonesia tidak ada pembelajaran tentang pengenalan satu unit lampu. Bahkan di IKJ (Institute Kesenian Jakarta) pun tidak ada. “Saya dengar dari anak-anak yang kuliah di IKJ, mereka mengenal alat-alat unit lampu dari para senior. Harusnya IKJ menyediakan alat lampu yang bisa dipreteli mahasiswanya, seperti mahasiswa jurusan film,” ungkap Hery S.

Sedangkan pementasan Titik Nol sendiri bercerita tentang Sukran, seorang bocah dari Aceh dan Siti, seorang wanita Malaysia yang sama-sama merasakan kepedihanatas hilangnya Sofyan akibat tsunami Aceh, pada 2004 lalu. Ketika kita kehilangan seseorang, kita hanya dapat menunggu dan berharap bahwa yang hilang akan kembali. Tapi berapa lama kita menunggu? Pada akhirnya, kita hanya ingin sebuah kepastian kalau orang yang hilang memang tidak akan kembali. (tim)

0 komentar:

Posting Komentar