Selasa, 21 Februari 2012

Dramakala Fest Ruang Alternatif bagi Pencapaian Kreatif

Pentas Teater Stagman Art, sebagai salah satu peserta dalam Dramafest LSPR, pada 28-29 Februari 2012 nanti.


Kreativitas yang memicu. Tanpa ini rasanya tidak kunjung muncul produksi dan produktivitas. Pentas dan pementasan selalu saja memuara pada yang satu ini. Kreativitas atau daya cipta pula yang menggulirkan Dramakala Fest - festival drama pendek dan monolog pendek lahir dan mengayakan kreativitet teater – setidaknya – di Jakarta. Inilah rasanya ibarat pepatah pucuk dicita ulam pun tiba.

Festival yang semula sempat meragukan inisiatornya yaitu IDEAL (Indonesia Drama Educators Association) – penerbit koran Dramakala justru disambut tangan terbuka dan perasaan lega oleh setidaknya 11 grup teater di Jakarta plus Banten – grup peserta Dramakala Fest - serta tak kurang 20 pemonolog yang beberapa di antaranya telah memenangkan festival monolog yang lebih dulu ada. Para kreator dari 11 grup dan 20 pemonolog itu, bagian terbesar dari mereka, muncul meramaikan acara technical meeting Dramakala Fest, pertengahan Pebruari 2011 di auditorium teater London School and Public Relation (LSPR), panggung yang menjadi tumpahnya kreasi-kreasi para kreator teater.

Untuk memastikan seberapa jauh antusiasme, perasaan suka cita para peserta terhadap kehadiran Dramakala Fest berikut pula kendala yang terhadapi dalam persiapan dan pewujudan produksi mereka masing-masing, redaksi koran Dramakala yang menjadi partnership penyelenggaraan, melakukan sebaran kuisioner.

Terdapat lima pertanyaan disertakan pada kuisioner ditujukan kepada grup teater dan pemonolog. Yaitu, pendapat para peserta tentang Dramakala Fest, daya tarik apa yang terdapat di dalam Dramakala Fest yang pada gilirannya mendorong untuk ikut, kendala apa yang terhadapi sebagai peserta, bagaimana menyiasati aturan main dan apa harapan terhadap penyelenggaraan Dramakala Fest.

Tantangan
Secara umum, hampir semua peserta menyambut baik kehadiran Dramakala Fest. Mereka menyebutkan Dramakala Fest adalah ajang kreativitas yang membukakan ruang alternatif bagi pengucapan dan pencapaian artistik, idiom-idiom dan momen-momen dramatik. Pendapat demikian diutarakan peserta, karena mereka menganggap sampai saat ini di Jakarta hanya ada satu festival teater yang telah rutin digelar (baca: FTJ). Format dan pencapaian-pencapaian yang “rutin” pada festival itu, tampaknya telah menjadi situasi yang mentok. Terhadap kondisi demikian, beberapa peserta menyebutkan kehadiran Dramakala Fest sebagai bak angin segar.

Sebagai suatu pencapaian gagasan, Dramakala Fest patut diacungi dua jempol. Ini dikatakan Pedje, sutradara teater Pohon yang mementaskan Musuh Politik pada even ini. Karena yang melahirkannya lembaga yang bernaung di bawah perguruan tinggi, yang memang sudah semestinya menjadi pusat keunggulan, termasuk dalam hal kreativitas seni yang sudah mentradisi di banyak perguruan tinggi di negara-negara maju.
Sifatnya yang lomba, durasi yang pendek, dan tempat penyelenggaraan di kampus LSPR adalah pemicu mengapa mereka memastikan ikut Dramakala Fest. Sejumlah grup teater dan pemonolog berkeinginan tampil sebagai pemenang. Iming-iming hadiah yang disebutkan penyelenggara tak pelak ikut menguatkan kehendak itu.

Tapi beberapa pemonolog dan grup lainnya, nyaris tak melihat iming-iming hadiah. Bagi mereka format lomba dan durasi rupanya lebih menggelitik hasrat untuk berpartisipasi. Boleh dikata perkara menang atau kalah adalah berikutnya. “Saya ingin manggung,” ujar Busrok Yusuf Busro, pemonolog yang akan memainkan reportoar Opelia Amok Kapak. Anto RistarGie, sutradara teater Stageman @rt !ndonesi@ jiwanya tergugah untuk berpartisipasi lantaran reportoar yang dipentaskan pendek. “Ini tantangan kreatif,” tukasnya. Disebut demikian karena dalam durasinya yang pendek termaktub pesan dan isi yang menjangkau menyeluruh.

Sedangkan kampus sebagai tempat penyelenggaraan, sebab tempat atau lokasi itu adalah ruang kemungkinan dimana antara lain banyak mahasiswa dari kampus itu dapat mengapresiasi pementasan dan presentasi monolog. Sekali pun tak tertutup kemungkinan pula, menurut grup dan pemonolog, publik umum belum tahu lokasi dan alamat persis tempat penyelenggaraan. Publik juga boleh jadi lebih mengenal dan ngeh bahwa kampus tersebut lebih dikenal dan lengket di benak sebagai lembaga pendidikan formal untuk ke-pi-ar-an, dan belum publis sebagai juga ruang penyelenggaraan performance teater dan lebih-lebih monolog, seperti halnya Taman Ismail Marzuki atau pusat-pusat kesenian wilayah seperti gelanggang remaja dan puskeswil.

Sudah Garisnya
Tentang kendala terhadap durasi yang pendek, pendapat grup dan pemonolog terhadap hal itu, relatif variatif. Beberapa grup menyebutkan durasi pendek adalah rintangan yang menantang. Beberapa grup yang lain menyebutkan cukup direpotkan mendapatkan naskah-naskah drama pendek yang siap pakai sesuai ketentuan penyelenggara. Ada naskah yang durasinya sesuai namun jumlah pemainnya melebihi kuota. Grup-grup yang pilihan naskahnya telah sreg mengait tema, isi pesan dan karenanya telah lebih dulu mengeksplorasi, jadi terganggu karena mau tidak mau perlu “memendekkan”. Pada gilirannya rata-rata grup memang melakukan siasat artistik. Set properti dan konsep artistik misalnya mereka lakukan dengan pendekatan minimalis dan simbolik. “Properti kami sesederhana mungkin. Yang kami tonjolkan adalah emosi dan psikologi karakter tokoh-tokoh,” ujar Dadang Badoet, sutradara grup Stage Corner Community.

Tak kurang dari itu adalah para pemonolog. Mereka yang mengusung tubuh sebagai media pengucapan reportoarnya, nyaris tak terkendala dengan ketentuan durasi dan sempitnya waktu persiapan yang singkat. Eksplorasi yang menjadi fokus memungkinkan para pemonolog ini leluasa. Pepeng, Hendra Setiawan, Galuh Tulus Utama – satu-satunya pemonolog dari Surabaya, di antaranya tak terlalu dipusingkan. Mereka siap dan siaga dengan memanfaatkan ruang dan tubuhnya masing-masing untuk pencapaian momen-momen dramatik. Akan halnya pemonolog yang melakukan tumpuan pada naskah bercerita, toh tak lepas dari siasat meminimalkan properti. Lina Erent, Pikiyah, Haikal Sanad dan beberapa lainnya telah sigap dengan kondisi yang ada. Set yang minimal tapi dikuatkan pada kepadatan dramatik. Ady Santoso lain lagi pendapatnya. Menurutnya tak ada siasat-siatan. “Durasi pendek sudah garisnya, jadi ikuti saja,” katanya. Dengan kata lain, antusiasme peserta memang dapat teratasi melalui kreativitasnya masing-masing.

Namun demikian baik pula mendengar komentar lain mereka diluar artistik. Kendala yang ikut memusingkan peserta patut menjadi masukan bagi penyelenggaraan sekuel berikutnya di tahun depan. Beberapa peserta menyayangkan persiapan penyelenggara yang terkesan mendadak. Sosialisasi meraka rasakan kurang. Bahkan seorang pemonolog mengatakan komunikasi dengan penyelenggara ikut merepotkan di antaranya sulit dihubungi.

Berbagai kendala, kritik penyelenggaraan adalah baik. Pasti akan dieliminasi berbagai kekurangan yang muncul sebab mahfum even ini merupakan yang pertama digelar. Dan tahun-tahun berikutnya penyelenggaraan akan lebih antisipatif dan matang karena “telur telah pecah”. Kekurangan dan kelebihan jauh lebih terlihat. Seyogyanya penyelenggaraan akan lebih siap. Inilah antara lain harapan yang dikemukakan sebagian besar para peserta.

Pihak penyelenggara memang sudah memastikan akan kembali menggelar Dramakala Fest. Kreativitas harus terus dijelajah, diciptakan berbagai celah mediumnya. Drama pendek dan monolog pendek telah sama-sama disepakati sebagi ruang kemungkinan yang membuka cakrawala energi kreatif, ruang alternatif bagi tumpah-ruahnya beragam idiom baru pengucapan. Menjadi perlu dan penting karena karya-karya kreatif selalu beriringan dengan dinamika sosial dan pertumbuhan situasi masyarakat yang mengitari dan terus tak henti bergerak. (tim redaksi).

0 komentar:

Posting Komentar