Selasa, 05 Juni 2012

PAMERAN LUKISAN: Srihadi Soedarsono Beraksi Tunggal

Pelukis Srihadi Soedarsono menggelar pameran tunggal di Art:1 New Museum, Jalan Rajawali Selatan Raya No 3, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan tersebut, juga diluncurkan buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia yang ditulis Jim Supangkat, kurator pameran. Acara peresmian yang berlangsung tadi malam, Selasa (30/5), ini diresmikan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dan dihadiri ratusan pencinta seni. “Pameran ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian Art:1 terhadap terselenggaranya program pameran yang berkualitas. Pameran perdana Srihadi menjadi signifikan dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia di masa depan,” kata pengelola Art:1 New Museum, Martha Gunawan. Menurut Martha, pameran yang berlangsung sampai 30 Agustus ini juga bertujuan mengedepankan edukasi seni, terutama mengenai perkembangan seni rupa Indonesia, baik tokoh, sejarah, maupun karya seni rupanya, ke masyarakat yang lebih luas. Kurator Jim Supangkat mengatakan bahwa pameran tunggal ini akan menampilkan 130 karya yang terdiri dari karya-karya yang belum pernah dipamerkan sebelumnya, dari sketsa, print, drawing dan lukisan termasuk 10 karya terbaru. Pameran ini merupakan retrospeksi perjalanan Srihadi. “Karya-karya penting Srihadi diangkat dari koleksi pribadi sang pelukis, yang disimpannya selama bertahun-tahun sejak awal karirnya. Pameran ini menyajikan pula karya-karya terbaru Srihadi yang masih memperlihatkan perkembangan,” kata Jim. Sementara itu, Srihadi mengatakan bahwa pada pameran ini ditampilkan karya yang dibuat mulai tahun 1946 sampai 2012. Di antaranya drawing saat mempertahankan RI pada 1945-1947 yang disebut Dokumentasi Yogya. Salah satu drawing itu adalah jatuhnya pesawat Dakota yang membawa obat-obatan dan ditumpangi Dokter Abdurahman Saleh yang terjadi pada 29 Juli 1947. Sekitar tiga dekade, jejak seni rupa Indonesia pernah hilang dari perkembangan seni rupa dunia. Di Indonesia, seni rupa modern pernah dituding sebagai seni rupa borjuis, pemikiran Barat, dan serupa dengan kolonialisme. Namun seorang pelukis bernama Srihadi Soedarsono membuka ruang kesadaran banyak orang. Sejak berguru pada Soedjojono yang kental dengan humanisme universal dan sosialisme, karya-karya Srihadi ternyata mewakili Indonesia dalam sejarah perkembangan seni rupa modern dunia. Srihadi bukan hanya elemen penting sejarah seni rupa Indonesia, tetapi juga potongan berharga dari seni rupa modern dunia. Pada usia 80 tahun, dia masih tak goyah menoreh sejarah seni rupa. Guru Besar Institut Teknologi Bandung ini menggelar pameran besar yang mengisahkan perjalanan kariernya. Di Art:1 New Museum Jl Rajawali Selatan Raya No 3 Jakarta Pusat, hingga 30 Agustus 2012, Srihadi menampilkan 130 karya. Sebagian besar karya bahkan merupakan koleksi pribadi yang belum pernah dipamerkan. Mulai dari sketsa, print, drawing dan lukisan yang disimpan selama bertahun-tahun. “Sesuai tema Srihadi dan Seni Rupa Indonesia, pameran ini tidak hanya soal pameran Srihadi, tetapi lebih pada kontekstual perkembangan Srihadi untuk bisa melihat sejarah perkembangan seni rupa Indonesia. Srihadi punya kebiasaan mengumpulkan karya-karya terbaik. Kita bisa melihat masa kubisme dan abstrakisme ketika dia di Amerika. Atau bisa dibilang hampir semua perkembangan ada di sini,” kata Kurator Jim Supangkat. Menurut Jim, Srihadi menghasilkan cukup banyak karya abstrak, meskipun pada akhirnya justru menolak abstrakisme. Saat berada di luar negeri, Srihadi menolak abstrak karena mempertahankan persepsi yang dibawa dari Indonesia. Di Amerika pun, abstrakisme juga mendapat penolakan sebagian seniman. “Bagian terpenting, penolakan itu adalah sebuah data otentik, perkembangan seni rupa Indonesia dalam seni rupa global. Arus besar membuat semua terpengaruh dan terus berkembang sampai sekarang. Sementara Srihadi berada di lingkaran tanpa isme, tapi bukan eksklusif karena berada di tengah. Dia berkembang di tengah perkembangan seni rupa dunia. Lewat Srihadi, seni rupa Indonesia tetap bisa dibaca kritikus seni dunia. Meskipun juga mendalami abstrak, Srihadi konsisten pada sikapnya yang tidak bisa meninggalkan realitas. Pria kelahiran Solo 4 Desember 1931 ini tidak bisa menempatkan persoalan bahasa rupa sebagai persoalan utama dalam art-making. Srihadi mengadopsi pemikiran pelukis Mark Rothko yang percaya bahwa ruang abstrak pada lukisan-lukisannya menampilkan renungan transendental. Dalam perkembangan, lukisan-lukisan Srihadi pada 1960 -1970 subject matter semakin lama menjadi semakin mudah dikenali. Melalui ketegasan subject matter ini, realitas yang diangkat Srihadi mudah dikenali juga. Realitas pada lukisan Srihadi kerap muncul sebagai realitas yang spesifik. Sepanjang karier, realitas di Indonesia merupakan subject matter dominan pada lukisan-lukisan Srihadi. Secara konsisten, Srihadi mempertahankan pencarian kebenaran pada realitas spesifik. Keterikatan itulah yang membuat Srihadi menolak abstrakisme dan sekaligus modernisme.“Inspirasi saya berkarya dimulai dengan sesuatu yang menggugah. Sesuatu yang bisa menggerakkan untuk dijadikan karya. Sesuatu itu bisa saja obyek, tapi ada satu waktu, saya lebih intensif pada kritik sosial. Adakalanya ditinggalkan karena menyangkut perkembangan kejiwaan. Semua itu diikuti rasa. Itulah kenapa orang tidak bisa lagi melihat karya-karya saya seperti tahun 70, semua terkait perkembangan usia dan kejiwaan,” tambah Srihadi. Pada pameran besar ini, Srihadi memuji fasilitasi dan mensyukuri keberadaan Art:1 New Museum dalam memenuhi obsesinya untuk menggelar pameran yang ideal. Dengan ruangan yang luas, dia bisa menampilkan sebagian besar karya-karya bersejarah. Sebut saja, gambar berjudul Wreckage of VT-CLA Plane 1, yang dibuat tahun 1947, yakni momentum pesawat Dakota yang ditembak jatuh Belanda di Yogyakarta. Peristiwa yang sama juga dilukis ulang dengan cat minyak, pada tahun 1982. Di sudut lain, Srihadi juga memperlihatkan kepekaaanya pada kondisi sosial dan lingkungan. Salah satunya kanvas berjudul Beauty Contest (1973). Lukisan berobyek tujuh gadis itu berselempang nama-nama media massa besar. Pesan Srihadi, penghargaan kontes kecantikan mestinya justru diberikan pada media massa yang membisu pada realitas lingkungan sosial. Pada kanvas cat minyak berjudul Air Mancar (1973), dia pernah mengabadikan suasana Jakarta yang tenggelam arus global. Kanvas itu juga yang membuat berang Gubernur DKI Jakarta (alm) Ali Sadikin, sebelum pameran di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Sang gubernur mencorat-coret lukisan Srihadi dengan spidol berisi kata-kata makian karena menganggap Jakarta tidak seperti gambar Srihadi yang “berantakan” dengan reklame produk Jepang. Sang empu lukisan akhirnya dipanggil khusus dan Ali Sadikin pun akhirnya meminta maaf. Jim menjelaskan Srihadi telah melalui sejumlah fase dan tema yang seluruhnya berkembang secara paralel. Meskipun demikian, tema-tema lama seperti sosial tidak sepenuhnya hilang saat Srihadi menuju ke fase yang baru. Seperti kanvas berjudul Logo Dialogue (1987) atau Mt Merapi and Borobudur- the endless Hope and Prayer (2006). “Kini Srihadi masih memperlihatkan perkembangan ke fase baru. Indikasinya tampak dari lukisan tari bedaya yang sakral dan tradisi dan sakral. Namun Srihadi justru mempersenjatai penari bedaya. Dia menampilkan penari dengan panah dan membawa keris terhunus. Srihadi juga menuju topik perempuan. Sangat universal. Renungan Srihadi berada di ruang pemikiran transeden. Beragam masalah muncul di ruang itu,” tambah Jim. (espe/kbr.c)

0 komentar:

Posting Komentar