Kamis, 31 Mei 2012

Soegija, Sebuah Film untuk Perenungan

Meski mengangkat kisah tentang Romo Soegijapranata namun film "Soegija" tidak hanya menggambarkan sosok uskup pribumi pertama di Indonesia bernama lengkap Albertus Soegijapranata itu saja. Film garapan sutradara Garin Nugroho itu menampilkan nilai-nilai kemanusiaan universal melalui kisah-kisah di tengah revolusi. Garin mencoba melukiskan situasi dalam setiap pernyataan yang disampaikan Soegija dalam gambar-gambar khasnya, membuat "Soegija" tidak hanya menuturkan sejarah secara verbal tapi juga menyuguhkannya sebagai ilustrasi kehidupan."Karena misal Soegija mengatakan soal penderitaan, kalau tidak digambarkan situasi zamannya seperti apa, itu tidak mungkin. Nanti hanya dialog saja seperti film umumnya," kata Garin usai penayangan film beranggaran Rp12 miliar itu di Jakarta, Kamis (24/5). Sutradara kelahiran Yogyakarta itu mengumpulkan referensi dari berbagai sumber seperti buku sejarah, buki harian serdadu Belanda dan Jepang, kisah-kisah revolusi dan sahabat-sahabat Mgr. Soegijapranata untuk menghidupkan sisi-sisi kemanusiaan sang uskup."Kami mencari cerita-cerita ketika dialog itu dimunculkan. Sumber macam-macam kami kumpulkan untuk ilustrasi situasi pada saat Soegija bicara. Itu yang sangat sulit karena kalau tidak nanti isinya hanya pidato dia saja," tambahnya. Maka jadilah film sejarah yang sangat "Garin", dengan gambar-gambar bercerita yang disempurnakan dengan muatan dialog dari narasi sarat makna yang dibuat Armantono dan Garin Nugroho. Sang sutradara tampaknya secara cermat memilih penampilan adegan dengan gambar yang bercerita atau narasi sehingga adegan-adegan dengan format berbeda terasa pas, dan bertambah enak dinikmati dengan tata musik Djaduk Ferianto dan akting para pemain yang natural.Garin, yang sebagian karya filmnya mendapat penghargaan internasional, menampilkan pemain dengan beragam latar belakang budaya untuk mewujudkan gambaran situasi dan pelaku sejarah yang terkait dalam filmnya. Pemeran film itu berasal dari beberapa etnis di dalam negeri dan beberapa pemain dari luar negeri. Secara keseluruhan, penggarapan film itu melibatkan 2.775 pemain dari Jawa, Cina, Belanda, dan Jepang. Perenungan Film "Soegija" mengisahkan kerja kepemimpinan dengan "silent diplomacy" serta prinsip kebangsaan dan kemanusiaan Soegija pada era 1940-1950. Garin mengangkat sisi-sisi kemanusiaan dari delapan tokoh utama dalam film yang berlatar masa penjajahan Belanda, lalu perebutan kekuasaan oleh Jepang serta masa krisis menjelang dan setelah kemerdekaan.Meski berlatar zaman perang namun film "Soegija" sama sekali tidak menampilkan adegan-adegan berdarah maupun kekerasan. Tidak ada sosok penjahat juga di sini.Sang sutradara memilih suasana di pengungsian dan menyusup ke dalam diri tokoh-tokoh utamanya, mengajak penonton merenung dengan menampilkan sisi kemanusiaan mereka dengan gambar yang indah, dialog yang kuat dan iringan musik dramatis. Dalam film sepanjang 115 menit ini, perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia. Ketika Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem (Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya dan Ling Ling (Andrea Reva) terpisah sang ibu (Olga Lydia).Keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga mereka yang menjajah.Serdadu Jepang, Nobuzuki (Suzuki), tidak pernah tega terhadap anak-anak karena ia juga punya anak yang selalu ia rindukan di Jepang. Robert (Wouter Zweers), seorang serdadu Belanda yang merasa menjadi mesin perang hebat, hatinya tersentuh oleh bayi yang ia temukan di medan perang yang membuat dia merindukan ibunya, bukan negaranya. Sementara bagi Hendrick (Wouter Braaf), perang membuat dia tak bisa memiliki cinta yang dia temukan. Soegija (Nirwan Dewanto) ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian. Bagi dia, kemanusiaan itu satu meski berbeda berbeda bangsa, agama, asal-usul, dan ragamnya. Soegija berusaha mewujudkan keinginannya melalui surat menyurat dan pertemuan dengan para pemimpin Indonesia seperti Syahrir, dan Soekarno. Dia juga mendukung pengorganisasian gerakan pemuda dan pelayanan sosial. Ia menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan melalui kunjungan warga, khotbah dan tulisan-tulisan. "Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri kita sendiri," katanya. Menurut Garin, nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini oleh Soegijapranata sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini meski dalam perspektif yang berbeda. Yakni bahwa seperti Soegija, para pemimpin seharusnya mampu mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan untuk meredam gejolak kekerasan, untuk mendamaikan. "Film ini merupakan sebuah catatan tepat untuk hari ini. Ini perayaan kegembiraan beragam dan berbangsa. Sudah saatnya tidak ada ketakutan," demikian Garin Nugroho. Dunia perfilman Indonesia memang sedang bangkit. Namun, tak banyak yang mengangkat tema sejarah. Garin Nugroho, bersama rekan-rekannya menghadirkan film yang mengangkat cerita tentang Soegija, seorang uskup pribumi pertama dalam Gereja Katolik Indonesia.Film didukung banyak sineas, aktor, serta aktris yang kemampuan aktingnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Beberapa di antaranya Nirwan Dewanto dan Annisa Hertami. Nirwan Dewanto, pemeran sosok Soegija sempat beberapa kali menolak terlibat dalam fim ini. Akhirnya, Nirwan tertarik dan merasa berkepentingan untuk menjalankan ide-ide yang ada dalam cerita Soegija. Menurut Nirwan, Soegija adalah tokoh penting yang berjasa pada masa revolusi Indonesia. Ia mengusahakan pengakuan Vatikan untuk Republik Indonesia. "Vatikan adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu penting," jelas Nirwan. Menurut Nirwan, berperan dalam film ini menuntut keseriusan dan harus total. Ia mencurahkan waktu selama dua bulan untuk Soegija. "Pada waktu itu saya meninggalkan pekerjaan dan keluarga saya. Tidak mungkin terlibat di film kalo komitmen bercabang-cabang. Selama dua bulan saya memberikan waktu untuk Soegija. Ini pekerjaan serius yg menuntut konsentrasi," ujar Nirwan. Selain Nirwan, sosok yang juga memiliki karakter kuat dalam film ini adalah Mariyem, yang diperankan Annisa Hertami. Cewek manis ini mengaku malu karena baru benar-benar mengenal sejarah. Ia mengenal tokoh Soegija ketika mendapat peran di film yang diproduksi dengan dana fantastis itu. Annisa mengaku banyak sekali perenungan yang bisa diambil dari film itu. Seperti nilai-nilai kemanusiaan, rasa cinta terhadap tanah air, dan ketegasan memilih untuk berkorban demi rasa cinta terhadap negara dan bangsa.Annisa memerankan sosok perawat yang jatuh cinta pada warga negara Belanda. Ada pertentangan bathin dalam diri Mariyem. Di satu sisi ia mencintai Hendrick, warga negara asing yang menjajah negerinya, di satu sisi ia sangat mencintai bangsanya."Film ini merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana cinta secara fisik mewujud pada cinta kemanusiaan dan wujud cinta pada bangsa. Dia jatuh cinta sama Hendrick, penjajah Belanda. Ternyata di sisi laen dia sebagai seorang perempuan kalem, dia punya prinsip keras. Ada perang bathin, tapi pada akhirnya dia bisa tegas kalo dia lebih mencintai bangsanya," kisah Anissa. Menurut Annisa, film ini menghibur, tanpa mendagkalkan maknanya. Ia juga mengaku, apa yang disampaikan sang uskup, masih sangat relevan untuk disampaikan di masa sekarang. Penjelasan Nirwan dan Anissa juga diamini sang produser, Murti Hadi Wijayanto. Ia mengaku ingin mengangkat nilai yang kuat dari tokoh kebangsaan dari gereja Katolik. Menurut laki-laki yang biasa di sapa Romo Murti itu, film Soegija merupakan cerita sederhana namun menyentuh."Kita ingin memperlihatkan, ada kebaikan dibalik 'kejahatan'. Di film ini tidak ada orang yang benar-benar jahat," ujar Murti. "Kalo mengaku orang Indonesia sejati, harus nonton film ini," tutup Murti. Film melibatkan banyak aktor dan aktris baik dari Indonesia maupun dari Belanda dan Jepang. Film Soegija akan dirilis 7 Juni mendatang, dan diputar serentak di bioskop-bioskop Indonesia. Kontroversi mengenai film Soegija marak dibicarakan di dunia maya dan Blackberry Messenger (BBM). Banyak orang menilai bahwa film ini akan mempengaruhi iman seseorang jika menontonnya. Mendengar hal itu, salah satu pemain dalam film ini, Butet Kertaradjasa menyayangkan adanya pendapat seperti itu."Tidak akan ada iman seseorang itu berubah hanya karena menonton karya seni. Saya kasihan kenapa orang berpikir sedangkal itu. Sama halnya dengan orang beli makan nanya ini yang masak agama apa, udah sunat belum? Kan lucu. Gosip itu saya anggap promosi gratisan aja," tutur Butet saat ditemui di Ballroom Hotel Gran Melia, Kuningan, Selasa, 16 Mei 2012. Pemain teater yang juga komedian ini juga menambahkan bahwa film garapan Garin Nugroho ini bukanlah film tentang keagamaan seperti yang ramai dibicarakan."Ini film tentang manusia yaitu seorang uskup pertama di zaman perang. Banyak perannya untuk negara ini salah satunya menghentikan perang 5 hari di Semarang antara Jepang, gerilyawan, dan pasukan Belanda," katanya. Di film ini, Butet berperan sebagai Koster Toegimin. Untuk mendalami karakternya tersebut, ia bertemu langsung dengan seorang koster di salah satu gereja. Film yang juga melibatkan sejumlah seniman ternama seperti Landung Simatupang, Djaduk Ferianto, Nirwan, dan Olga Lidya ini akan tayang 7 Juni 2012 mendatang. Butet berharap film ini dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan memberi inspirasi tentang multikultural dalam basis nasionalisme."Jadi film ini tujuannya untuk menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme, kemanusiaan dan bagaimana harus bersikap dalam situasi yang tidak stabil," tambahnya. (ant/vivanews/metrotv.com)

0 komentar:

Posting Komentar