Kamis, 31 Mei 2012

Hanna Fransisca Luncurkan 3 Buku Sastra

Cita-citanya, sejak awal, selain ingin menyaksikan peluncuran tiga buku Hanna Fransisca, juga ingin bertemu banyak kawan. Bahkan, pagi-pagi, saya sudah membikin status di Facebook: “mari ngopi di TIM malam nanti….” sambil menempel berita tentang acara Hanna yang dimuat di portal sastra infosastra.com. Tujuannya, ya, mengirim pesan kepada teman-teman bahwa malam itu, Selasa (29 Mei 2012), saya akan berada di Taman Ismail Marzuki. Lalu Akmal Nasery Basral, sang novelis laris itu, menyahut status itu: “Mari!”. Niat ke TIM makin “mengharukan” ketika rekan cerpenis dan esais Damhuri Muhammad menulis status di FB begini: “menunggu dengan gembira Yanusa Nugroho, Benny Arnas, Akmal Nasery Basral, Kurnia Effendi, Endah Sulwesi, Rita Achdris, Bamby Cahyadi, Mustafa Ismail, MPu Gondrong Sae, Khrisna Pabichara, dll. banyak yang kagak bisa ditag, entah kenapa. mohon maaf”. Buat saya, ini cara mengundang yang sangat menyentuh sekali. Kelihatannya, saya tampak lebay (tiba-tiba saya jadi ingat Lebay Hamid di kampung, seorang ustad yang suka mengaji tengah malam di meunasah alias surau). Tapi beneran, teori-teori komunikasi menyebutkan (sory, aku tidak akan pakai catatan kaki dalam curcol ini meski dalam dua tahun terakhir ini sangat akrab dengan catatan kaki, bukan catatan paha ya) komunikasi tidak hanya cara menyampaikan pesan juga cara “memanusiakan” orang lain. Diwongke, kata orang Jawa. Tapeu ureung, kata ibu saya di Aceh. Intinya, dalam berkomunikasi, yang dipentingkan tidak hanya pesan, justru yang lebih penting adalah cara menyampaikan pesan itu. Oke, soal ini tidak perlu kita perpanjang, karena memang sudah cukup panjang ya. Kata teman saya, sesuatu yang panjang jangan suka dipanjang-panjangkan lagi, apalagi sampai melibatkan Mak Erot, Mak Eros, Mak Curot, atau mak-mak yang lain. Pendek kata, berangkatlah saya malam itu ke TIM. Setelah memarkir “sapi” di bawah sebuah batang pohon, di depan Graha Bhakti Budaya, saya pun berjalan ke Teater Kecil. Dari jauh — sebetulnya tidak terlalu jauh, ini cuma gaya hiperbola — penyair Giyanto Subagio (Maaf, saya tidak sempat tanya apakah ia ada hubungan dengan penyair Subagio Sastrowardoyo atau Dian Sastrowardoyo) melambai, menyapa. Sok akrab juga dia, padahal kami memang cukup akrab, he..he.. (Giyanto jangan marah ya, kalau suka marah entar cepat terkenal lo). Setelah berbasa-basi sebentar — inilah tradisi orang Indonesia yang masih tetap abadi — mau masuk ke dalam. E, di depan Teater Kecil ketemu lagi sama Iwan Kurniawan dan seorang rekannya. Iwank itu sebenarnya filosof, lulusan filsafat dari sebuah universitas di Yogyakarta, tapi kami lebih sering berdiskusi tentang blog dan ia jago bikin website. Kalau lagi iseng, coba deh mampir ke blognya di sini. Tapi tunggu dulu, sebaiknya Anda menyelesaikan membaca tulisan ini. Oke, saya lanjutkan ya. Setelah bertemu Iwank, begitu ia sering disapa, saya lihat seseorang berambut gondrong, berkaca mata, duduk di pembatas Teater Kecil, persis dekat toko buku penyair Jose Rizal Manua. Siapa dia? Sebentar, saya minum dulu ya. Tehnya tinggal sedikit, tapi lumyan untuk nambah tenaga. Saya teruskan ya. Untuk menjawab siapa orang ini, lebih baik saya memulainya dengan sebuah cerita. Pada tahun 1990 (atau 1989 ya, saya agak lupa), di Harian Serambi Indonesia (Banda Aceh) muncul sebuah cerpen remaja, kira-kira judulnya “Masihkah Kau Sayang Padaku, Dini?” Penulisnya adalah seorang rekan penulis, yang namanya cukup akrab, meskipun waktu itu kami belum pernah saling kenal atau ketemu langsung. Membaca cerpen itu, saya teringat sebuah cerpen yang muncul di Majalah Ceria Remaja (yang diasuh oleh Nina Pane dan Sutardji Calzoum Bahri). Singkat cerita, saya bikinlah tulisan budaya untuk Serambi Indonesia dan membandingkan kemiripan kedua cerpen itu. Kala itu, redaktur budaya adalah Fikar W. Eda, penyair yang masih sekarang suka menggondrongkan rambut. Tulisan itu dimuat dan ramailah soal itu di kalangan seniman Aceh. Terjadi balas-membalas pantun di koran itu, antara saya dengan rekan penulis itu, yang kemudian — kalau gak salah — ditengahi oleh seorang sastrawan senior di sana, saya lupa kala itu siapa yang menulis menengahi polemik di media itu. Ketika saya hadir dalam acara Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki pada November 1996, saya baru ketemu dengan penulis cerpen yang karyanya “dijiplak” oleh rekan di Aceh itu. Namanya Remmy Novaris DM. Nah, dialah lelaki yang duduk di pembatas Teater Kecil itu. Mengobrol sebentar, lalu kami masuk ke Teater Kecil, mencicipi makanan Singkawang yang disediakan Hanna, lalu masuk ke dalam gedung Teater Kecil. Rupanya, tempat peluncuran buku Hanna sudah penuh. Banyak penonton yang berdiri. Kami sempat berdiri di bagian belakang sebentar, kemudian pindah ke bagian samping kanan. Di sana, kami bertemu Hanna. Kami bersalaman, sambil mengucapkan selamat. Lalu, kami pun duduk di blok tangga. Rupanya di bagian tangga bawah, ada penyair Irmansyah. Ia sedang asyik menikmati penampilan para seniman di atas pentas “Malam Sastra Hanna Fransisca” itu. Sesekali, ia merekam penampilan itu dengan kamera ponselnya. Saat duduk di situ, dekat tangga, saya sempat mengontak Fikar W. Eda lewat massenger, dan mengatakan saya sedang berada di TIM. Ia katanya sedang di Blora bersama Mustafa A. Glanggang, mantan wartawan Serambi Indonesia yang kemudian menjadi (mantan) Bupati Kabupaten Bireun, Aceh. Saya sempat tanya: apakah sedang bersama Zoel Sawang? Nama ini cukup top di Aceh. Selain sebagai pembaca puisi handal — kerap memenangkan berbagai lomba baca pus disana — ia juga Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh, sekaligus pernah menjadi anggota DPRD Kota Banda Aceh selama beberapa priode. Sekarang ia berhikmat sebagai advokat. Di DKB, ia disampingi novelis/cerpenis Saiful Bahri (sebagai sekretaris) yang pernah dikenal dengan nama Xenonmicros — gara-gara sebuah novelnya “Terbuai Mimpi” menang lomba novel Balai Pustaka pada 1980-an. Saiful adalah penulis surealis. Novel dan cerpen-cerpennya cenderung posmodernistik. Tak lama, Fikar membalas pesan massanger dan mengatakan akan menuju ke TIM. Tiba di Teater Kecil, ia kembali mengirim pesan. “Aku sudah di Teater Kecil, tapi gak bisa lama-lama, karena harus menjemput anak-anak di Condet.” Menghadapi kata “Condet”, saya jadi ingat novel Ben Sohib berjudul “The Da Peci Code” yang kocak sekaligus tragik itu. Tapi, tentu, anak-anak dimaksud Fikar bukan sedang berada di rumah salah satu tokoh dalam novel Ben Sohib yang bersetting Condet itu. Intinya, begitu menerima pesan itu, saya beranjak mau ketemu Fikar. Rukmi Wisnu Wardhani, penyair yang belakangan lebih sibuk mengurus kebun pertaniannya di Facebook, yang baru ketemu Fikar di bagian depan, menyela langkahku. “Itu ada Bang Fikar di depan,” katanya. “Ya, aku mau ke sana,” balasku. Aku pun beranjak. Fikar lagi serius menonton. Setelah ngobrol sebentar di sana, sambil bisik-bisik (sory ya kalau ada yang sempat terganggu), kami berjalan ke luar. Di depan pintu, kami bertemu Pak Sapardi Djoko Damono, yang malam itu berpidato singkat tentang karya-karya Hanna Fransisca. Sempat mengobrol sebentar, Pak Sapardi pamit pulang. “Rumah saya jauh, di Ciputat,” katanya. Saya ingin menyahut, “Rumah saya lebih jauh pak, di Pamulang”, tapi tidak jadi, he..he… Ingat, jangan suka guyonan sama orang tua. Tapi memang betul, Pamulang itu lebih jauh dari Ciputat. Dari Ciputat, kita harus menempuh sekitar lima kilometer lagi untuk sampai di Pamulang. Kalau bingung, lihat peta di google ya. Kami lalu mengangsir ke salah satu bangku di lobi Teater Kecil. Kami ngobrol tentang rencana Fikar W. Eda yang akan membaca puisi di Bus Transjakarta, Minggu 3 Juni 2012 pukul 14.00. Teman-teman datang ya nanti. Ketemunya di Halte Busway di PGC Cililitan. “Parkir mobil di (mall) PGC, lalu langsung ke halte. Tak perlu keluar PGC. Halte ada di bawah PGC,” ujar Fikar penuh semangat. Pentas itu melibatkan dua kelompok didong, seni sastra tutur dari Gayo, Aceh Tengah. Fikar akan membaca puisi-puisi tentang masalah perkotaan dengan diiringi didong. Pentas itu, menggunakan busway gandeng. Teman-teman wartawan, saya yang diminta Fikar sebagai “humas” dadakan mengundang kawan-kawan untuk hadir ya. Dan silakan mengambil rilisnya di sini ya. Pentas ini adalah ujian akhir Fikar sebagai mahasiswa Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Siapa pengujinya? “Salah satunya Bang Merwan Yusuf,” kata Fikar. “Aku belum ketemu Bang Merwan nih,” ujarnya lagi. “Bang Merwan lagi nonton di dalam,” balasku. “Oh ya?” Lumayan lama juga duduk di lobi. Malam kian tua. “Atau besok aja ya kutelpon Bang Merwan,” katanya. Lalu, aku mengajak Fikar, ayo kita temui saja Bang Merwan. Fikar setuju. Kami pun masuk ke dalam. Begitu melihat kami, Bang Merwan yang dikenal sebagai kurator seni rupa itu melambai, mengajak duduk di kursi di barisannya yang tersisa dua buah. Sebelum sempat duduk, dari kursi penonton di bagian depan kami, Akmal Nasery Basral, melambaikan tangan. Aku lalu duduk paling ujung. Fikar duduk di tengah, antara aku dan Bang Merwan. Di sebelahku, duduk seseorang yang tak kukenal. “Permisi,” kataku padanya. “Iya, silakan,” kata seseorang di sebelahku itu. Siapakah orang di sebelah yang menggunakan kaos putih itu? Mari baca selanjutnya. Fikar sempat berbicara sebentar dengan Bang Merwan, sambil bisik-bisik tentu sehingga aku pun yang di sampingnya tak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi bisa kupastikan yang dibicaraka adalah soal pertunjukan Fikar. Bukan soal buah-buahan atau soal ikan depik di Danau Laut Tawar, apalagi soal Lady Gaga yang gagal datang ke Indonesia. Kalau Lady Gaga jadi datang, kali heran juga dia, kok ada ya seniman bikin pertunjukan dalam bus, apa gak takut dimarahin supir bus. Atau jangan-jangan ia justru terinspirasi pengin menyanyi di dalam metro mini. Pendek kata, sebelum acara benar-benar selesai, ia pamit pulang. Kami pun melepasnya seperti pahlawan pergi ke medan perang, diiringi tetabuhan rapai, seurune kalee, dan lagu bungong jeumpa yang dinyanyikan oleh pusukan inong dengan rencong di pinggang. Ups, jangan melamun. Kejadian tidak sedramatis itu. Biasa aja. Fikar pergi, dan saya kembali meneruskan menikmati Hanna yang sedang — di atas pentas — menyelesaikan baca puisinya. Baru ketika Hanna benar-benar menyelesaikan seluruh rangkain acara itu, baru saya meninggalkan kursi. Di lobi Teater Kecil, saya bertemu banyak teman, antara lain Binhad Nurochmad, Esthi Winarni, dan sempat pula ngobrol lama dengan Akmal. Ia bercerita baru saja menyelesaikan novel tentang salah seorang tokoh DI/TII di Aceh. “Sekarang novel itu sedang dicetak,” ujarnya. Obrolan sempat tersela dengan kehadiran beberapa teman lain. Kami lalu sepakat mau ngopi di gerbang TIM. Begitu keluar dari gedung Teater Kecil, aku bertanya: Damhuri kok gak kelihatan? “Itu Damhuri,” kata Akmal sambil menunjuk seseorang yang sedang ngobrol dengan seseorang lainnya di teras Teater Kecil. Setelah bersalamaan dan mengucapkan selamat — karena Damhuri Muhammad salah seorang yang mendukung suksesnya acara Hanna — seseorang berbaju putih datang, dan bersamalam juga dengan Damhuri. Ia menyebut nama, “Arif Gumantia.” Saya tersentak. Pikiranku menerawang ke Facebook. Saya punya teman di facebook dari Jawa Timur bernama Arif Guumantia. Rupanya benar, dialah rekan facebook itu. “Padahal tadi kita duduk jejeran ya,” ujarnya. Aku baru ngeh. Ternyata lelaki berkaos putih yang duduk di sampingku tadi adalah Arif. Kami kemudian memutuskan pergi ke gerbang TIM dan duduk lesehan di “bata merah” — begitu sebagian kawan-kawan menyebutnya. Padahal lantai yang berundak-undak itu bukan terbuat dari batu-bata, tapi dari keramik. Tapi memang warnanya merah. Di sana, akhirnya ngumpul banyak teman. Ada Akmal, Aris Kurniawan, Arif Gumantia, Esti Winarni, Rukmi Wisnu Wardhani, Damhuri, dan beberapa yang lain. Sehabis mengobrol ke sana-kemari, sekitar pukul 23.30, saya dan Akmal pamit, beranjak pulang. Sejumlah kawan lainnya tetap meneruskan nongkrong di sana, entah sampai kapan. Mungkin sampai sekarang. Nggak percaya, coba deh cek ke sana. [musismail.com] Penyair Hanna Fransisca meluncurkan buku di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Selasa malam (29/5) kemarin. Hanna secara bersamaan meluncurkan tiga genre sastra, buku kumpulan puisi “Benih Kayu Dewa Dapur”, kumpulan cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” dan naskah lakon “Kawan Tidur”. Pada gelaran yang mengusung tajuk “Malam Sastra Hanna Fransisca” disemarakkan oleh oleh pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata, orasi Sapardi Djoko Damono, musikalisasi puisi oleh Arus Langit dan teater Garasi. Penyair Hanna Fransisca pada malam itu membaca puisi ”Benih Kayu Dewa Dapur” yang diiringi alunan musik etnik Tionghoa, Guzheng. Acara meriah dihadiri oleh sastrawan Abdul Hadi WM, Leon Agusta, Damhuri Muhammad, kritikus .dan para pecinta sastra. Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, pada 30 Mei 1979. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan naskah drama. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media antara lain Kompas, Koran Tempo dan Suara Merdeka. Sebelumnya, ia telah menerbitkan kumpulan puisi Konde Penyair Han (2010) yang mendapat pujian dari berbagai pihak. Buku itu kemudian menjadi Buku Sastra Terbaik pilihan Tempo 2010. Cerpen-cerpennya diterbitkan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (Juni 2010). Selain menulis sastra, ia aktif di organisasi sosial dan profesi Lions Club Jakarta Kalbar Prima. Ia juga pengusaha bisnis otomotif dan menetap di Jakarta. Baru-baru ini, ia terlibat sebagai salah satu pelakon dalam pentas teater puisi “Kapal Penyeberangan Hukla” Leon Agusta di Taman Ismail Marzuki, 8-9 Mei lalu. Dramaturgi pertunjukan itu ditulis Afrizal Malna dan disutradarai Aidil Usman. (journalbali.com)

0 komentar:

Posting Komentar