Perempuan yang disebut sebagai sosok spiritual tari Singapura oleh Arts Magazine (1999) itu adalah Angela Liong. Salah seorang tokoh terkemuka dunia seniman tari di Singapura. Disebut sebagai sosok spiritual tari Singapura oleh Arts Magazine (1999), koreografer ini adalah penerima penghargaan Singapore Cultural Medallion in Dance 2009 dan salah seorang pendiri kelompok tari kontemporer multi-disipliner The ARTS FISSION Company, pada 1994.
Angela membentuk The ARTS FISSION dengan estetika tari kontemporer untuk mendefinisikan ulang genre teater-tari Asia. Sebagian besar karyanya menitikberatkan perhatian pada perubahan iklim, di samping sensibilitas manusia dalam lanskap sosial di kota-kota di Asia Tenggara yang berubah dengan cepat.
Baru-baru ini, Angela merelasikan citra puitis dua syair tersebut ke dalam sensibilitas abad ke-21. Sensibilitas manusia dalam lanskap sosial di kota-kota besar di Asia Tenggara yang berubah begitu cepat dijabarkan melalui tarian, dentuman musik DJ, dan bunyi-bunyian keriuhan kota besar. Ia juga melengkapinya dengan sedikit pertunjukan video mapping. Semuanya terangkai dalam 16 subtema koreografi yang berbeda, pada karya tari ciptanya bertajuk Petals in the Crowd bersama kelompok tari Arts Fission Company bertajuk Petals in the Crowd yang terilhami barisan lirik indah ciptaan penyair asal Amerika Serikat, Ezra Pound, In a Station of the Metro (1913) dan sebuah syair dari akhir zaman T’ang bertajuk Face and Peach Blossoms di Salihara, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Angela Liong yang memperoleh pendidikan tari modern lewat sekolah tari Martha Graham ingin berpesan pada karyanya itu, tentang kuasa kultur modern melindas kultur tradisi yang sangat terbantu lewat gerak teatrikal. Sayang, koreografi ini lebih merupakan penggalan komposisi tari modern, Jawa, dan Cina daripada sebuah koreografi yang padu. Tampak sekali pemisahan komposisi gerak tari modern dengan Jawa dan Cina, sehingga masing-masing tampak berjalan sendiri-sendiri. (tim)
Angela membentuk The ARTS FISSION dengan estetika tari kontemporer untuk mendefinisikan ulang genre teater-tari Asia. Sebagian besar karyanya menitikberatkan perhatian pada perubahan iklim, di samping sensibilitas manusia dalam lanskap sosial di kota-kota di Asia Tenggara yang berubah dengan cepat.
Baru-baru ini, Angela merelasikan citra puitis dua syair tersebut ke dalam sensibilitas abad ke-21. Sensibilitas manusia dalam lanskap sosial di kota-kota besar di Asia Tenggara yang berubah begitu cepat dijabarkan melalui tarian, dentuman musik DJ, dan bunyi-bunyian keriuhan kota besar. Ia juga melengkapinya dengan sedikit pertunjukan video mapping. Semuanya terangkai dalam 16 subtema koreografi yang berbeda, pada karya tari ciptanya bertajuk Petals in the Crowd bersama kelompok tari Arts Fission Company bertajuk Petals in the Crowd yang terilhami barisan lirik indah ciptaan penyair asal Amerika Serikat, Ezra Pound, In a Station of the Metro (1913) dan sebuah syair dari akhir zaman T’ang bertajuk Face and Peach Blossoms di Salihara, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Angela Liong yang memperoleh pendidikan tari modern lewat sekolah tari Martha Graham ingin berpesan pada karyanya itu, tentang kuasa kultur modern melindas kultur tradisi yang sangat terbantu lewat gerak teatrikal. Sayang, koreografi ini lebih merupakan penggalan komposisi tari modern, Jawa, dan Cina daripada sebuah koreografi yang padu. Tampak sekali pemisahan komposisi gerak tari modern dengan Jawa dan Cina, sehingga masing-masing tampak berjalan sendiri-sendiri. (tim)
0 komentar:
Posting Komentar