Sejumlah media massa di Jakarta senada menolak pandangan masyarakat teater bahwa porsi pemberitaan pertunjukkan seni teater kurang mendapat porsi atau kurang mereka perhatikan. Apalagi media besar macam Kompas dan grup Tempo memiliki kantong seni yang dinilai dapat menipiskan peluang grup-grup teater di luar komunitas media massa besar, seperti Kompas dengan basis kantong seninya, Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dan grup Tempo dengan gedung keseniannya TUK dan belakangan pindah lokasi dan nama seiring levelnya yang profesional dan proporsional bernama Salihara.
Redaktur pelaksana bidang Seni Budaya harian umum Jurnal Nasional (Jurnas) Arie MP Tamba mengatakan, harus diakui terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat teater. Tidak saja di lingkungan masyarakat teater itu sendiri, tapi juga penonton dan pemerhatinya. Kalau tahun 1970-an, ada Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ- TIM) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, dan atau Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) di kawasan Pasar Baroe, Jakarta Pusat, lantas media massa mudah sekali mencari narasumbernya di situ.
Tapi pada 1990-an, kegiatan kesenian tidak lagi di TIM, karena mulai hidup kantong-kantong seni. Salah satu upayanya dimulai dari komunitas lingkungan masing-masing. Kalau kegiatan di TIM mendapat sponsor dari pemerintah daerah lewat APBD, komunitas alternative tetap mencari sponsor juga. Cuma polanya beda. Yaitu patungan dari anggota komunitas ditambah dari perusahaan swasta lain. Maka hidupnya kegiatan teater dari dana sendiri.
”Upaya mereka menghidupkan kegiatan menjadikan besar seperti TIM, yaitu BBJ dan TUK yang berubah nama jadi Salihara. Malah saya dengar, BBJ itu buka cabang di sejumlah daerah. Risikonya untuk pemberitaan adalah harus mau tidak lagi memprioritaskan lingkungan sendiri. Seperti aktifitas TIM yang jadi kurang perhatian dari pemberitaan. Ini tidak ada hubungannya dengan kualifikasi, tapi untuk coba perhatian. Sedangkan kualitas bisa dilihat dari kritikly dan grupnya,” ulas Arie MP Tamba, Redaktul Pelaksana Jurnal Nasional di kantornya, kawasan Cut Meutia, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Jadi, lanjut Arie, itu kriteria media sekaligus risiko dari komunitas-komunitas desentring pemecah pusat yang bisa saja salah nilai terhadap pentas satu teater. Sebaliknya grup teater bisa memperbaiki diri. ”Kalau Jurnas akan bersikap adil saja. Artinya, mau di BBJ, Salihara, TIM, GKJ, kami coba mengapresiasi untuk mengcover. Memang tak lepas pertimbangannya ada hubungan pertemanan, disukai pembaca yang akibatnya membatasi pembaca lain. Maka itu, semua kantong seni mendapat prioritas bagi Jurnas. Kecuali kalau ada pertunjukkan dalam waktu bersamaan, pertimbangannya yang tadi, pertemanan dan dibatasi oleh pembaca,” papar Arie yang juga sastrawan.
Tapi kalau kedua pertunjukkan sama kuat, lanjut dia, maka Jurnas akan menurunkan berita kedua-duanya. Bedanya pada pilihan angel. Misalnya, satu pentas teater Garasi, satu lagi pemenang Festival Teater Jakarta (FTJ), maka pada Garasi diambil angel pernyutradaraan, tapi pada teater jebolan FTJ pada aktor dan aktrisnya, atau pada angle lain yang kuat diberitakan. Yang penting jangan sampai diangkat dari kantong seninya. ”Misalnya, Salihara sedang adakan program Forum Teater Adaptasi selama Juni 2012 ini, kami pilih pertunjukkannya saja. Bukan forumnya itu. Harus diakui, 70 persen pilihan media menerbitkan adalah kepentingan kelompok,” kilahnya.
Kalau mengambil contoh pemberitaan FTJ, kata dia, sebenarnya banyak hal mempengaruhinya. Bayangkan dari sisi media, harus bersaing dengan banyak peristiwan. Begitu pula dari sisi pementasannya, banyak persaingan grup yang waktu bersamaan pementasan juga, sementara halaman koran terbatas. ”Memang ada dua sisi mata uang. Mungkin media ingin memberitakan FTJ sebagai proses yang sesungguhnya, tapi di masyarakat teater ingin diberitakan yang sesungguhnya pertunjukan mereka. Jurnas selalu peduli itu, tapi memang sekarang halaman mengalami pengurangan. Sehingga sekarang tidak lagi menerbitkan tulisan teater sebagai ilmu, tapi berupa resensi saja,” tukasnya.
Ini senada dengan wartawan Kompas Putu Fajar Arcana. Kalau di media asing, kolom untuk pentas kesenian sangat diapresiasi bahkan mendapat rubrik khusus, seperti New York Time. Tapi media umum berbasis publik di Indonesia, sekarang ini tidak ada lagi rubrik khusus setiap hari. Kalau pun ada setiap minggu. Kecuali hanya Kompas, Tempo, dan Suara Merdeka. Kalau media publik berbasis umum akhirnya berpijak pada dua kaki. Pertama, untuk publik dan kedua untuk perkembangan kebudayaan. Namun dalam praktiknya, kadang satu pihak harus dikorbankan. ”Karena itu, barangkali diperlukan media atau jurnal teater, seperti Dramakala yang berbasis jurnal. Titik pijak sebagai media umum, kebijakan beritanya bersifat apresiasi. Apresiasinya seperti apa? Peristiwa-peristiwa kebudayaan setiap hari terjadi dan berserakan sampai ke daerah-daerah. Saat bersamaan ada peristiwa kebudayaan berupa pentas teater. Maka perhitungan yang diambil adalah keterbacaan koran. Artinya,
karena gaungnya yang besar dari pentas teater itu, maka tetap diberitakan dengan porsi beritanya terpaksa lebih kecil,” timpal Putu Fajar Arcana melalui ponselnya, Sabtu (9/6).
Terkait FTJ yang punya basis massa cukup kuat dan rutin diselenggarakan setiap tahun, diakui Putu sebagai peristiwa perayaan orang-orang urban di Jakarta dalam menuangkan ekspresinya, tapi menurut Putu, kelemahannya tidak mau menyentuh media. Misalnya, pergi melakukan kunjungan kerja ke media-media. Sehingga para editor dan redaktur media mengenal betul dan mendetail tentang FTJ. “Menyentuh Koran ini yang harus digarap oleh panitia FTJ. Lakukan roadshow sejumlah media besar itu. Sehingga info FTJ diketahui. Karena sebenarnya perhatian orang media pun kecil terhadap FTJ. Peristiwa yang dicover media bukan pada posisi tawar menawar, tapi mendorong untuk merebut media massa. Jadi lebih moderat kalau masyarakat teater itu menyentuh Kompas atau Tempo,” kilahnya.
Menyinggung soal komunitas BBJ, Putu mengaku itu bukan CSR—nya Kompas. Karena BBJ merupakan unit tersendiri. Jadi, pinta dia, jangan menyalahkan BBJ yang mementaskan teater lantas ditulis Kompas. ”Jangan lupa, belum tentu pementasan diBBJ akan ditulis Kompas. Sebab ada pertimbangan-pertimbangan redaksi di internal media. Jadi masyarakat teater jangan cengeng dengan mengklaim setiap kantong seni punya komunitas sendiri dan itu menjadi layak diberitakan. Maka itu, saya sarankan masyarakat teater harus menyentuh media besar itu dengan cara berkunjunglah,” pungkasnya.
Sementara Rizal Nasti, Pemimpin Umum Bulletin Sombox mengatakan, masyarakat teater jangan gelisah soal tidak diberitakannya pertunjukkan teater di media besar. Karena media besar itu punya kepentingan selling point alias jualan korannya dan mempertimbangkan iklan. Kalau pertunjukkan teater mau disadari punya kekuatan sebagai alat propaganda,sebenarnya media besar dan kecil tidak perlu ada pertimbangan. Kecuali pertimbangan untuk kepentingan komunitasnya. "Kita tahu, sekarang ada komunitas kantong seni yang menjadi basis kelompok teater tersendiri. Namun sebagai teater yang diluar basis itu, kita perlu mempertahankan kualitas dan eksistensi. Persoalan berat bagi teater-teater yang tidak dikenal media,tapi punya basis masyarakat yang besara adalah eksistensi. Kalau mau besar berbuatlah untuk menjadi besar sehingga menyentuh media besar itu," pungkasnya. (hery s)