Pertumbuhan jumlah kewirausahaan Indonesia sudah mengalami peningkatan pesat dibanding tiga-lima tahun sebelumnya. Atau sekarang rasionya 1,56 persen dari jumlah penduduk Indonesia 250 juta lebih. Pertumbuhan ini diyakini Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Syarif Hasan, tak lepas dari sumbangan incubator bisnis di perguruan tinggi (PT). Karena itu, Syarif mendorong pihak akademi untuk terus melanjutkan program incubator bisnis ini.
“Pertumbuhan rasio kewirausahaan sebesar 1,56 persen saat ini, belum cukup atau masih sedikit dibanding negara-negara lain. Karena rasio ideal jumlah wirausaha dengan jumlah penduduk adalah dua persen. Seperti Singapura dan Malaysia saja, sekarang rasio mereka di atas lima persen. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia saat masuk kategori bagus,” papar Syarif Hasan, Menkop dan UKM dihadapan peserta incubator bisnis dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia di auditorium Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (20/3).
Menkop dan UKM bertekad akan mencanangkan incubator bisnis ini menjadi gerakan sebagaimana Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN), sehingga menjadi Gerakan Inkubator Nasional nantinya. Karena itu, Syarif meminta kalangan rector yang hadir untuk ikut mensosialisasikan incubator bisnis ini supaya familiar. “Kalau perlu, lakukan evaluasi terhadap nama terminology incubator. Apa sudah familiar atau belum? Seperti entrepreneur, karena tidak familiar, sekarang lebih dikenal dengan nama kewirausahaan. Walaupun arti secara harfiahnya, katanya, tidak tepat. Tapi karena entrepreneur memberi arti kemampuan seseorang untuk menciptakan suatu barang untuk usaha, maka bisa disamakan dengan kewirausahaan. Nah, jadi apa sebenarnya incubator itu, harus dicari terminology. Kalau memang sudah familiar, tidak masalah. Ini jadi tugas kita bersama untuk membuat lebih familiar lagi,” pinta Syarif pada acara yang dihadiri Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Joko Santoso.
Dalam kesempatan itu, Syarif meminta para rector untuk ikut memberi pengertian nmahasiswanya agar tidak melakukan demontrasi menentang kenaikkan BBM (Bahan Bakar Minyak). Menurut Syarif, tujuan kenaikan BBM bukan untuk menyelematkan APBN, tapi justru untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang sedang baik ini. “Karena kita masuk dalam salah satu Negara denagn ekonomi baik, maka ini perlu kita selamatkan. Salah satu caranya menaikkan BBM. Pemahaman ini perlu diketahui kalangan rector, walau forum rector sudah setuju atas kenaikan BBM ini,” pintanya.
Dirjen Dikti Kemendibud, Joko Santoso menambahkan, sekarang sebenarnya ada 60-90 juta entrepreneur di Indonesia. Entrepreneur yang ada di pinggir-pinggir jalan atau yang lebih dikenal dengan pedagang kaki lima (PKL), justru tidak merepotkan pemerintah. Karena mereka jalan sendiri dan mandiri bahkan malah jadi penopang ekonomi bangsa. “Tulang punggung ekonomi Indonesia ada pada PKL. Masalah tercatat, tidak tercatat, itu yang harus dicatat. Pemerintah akan mengindentifikasi, mencatat, dan merestrukturisasi usaha-usaha PKL. Kelemahan mereka hanya teknik atau cara jual barang. Karena mereka selama ini pakai teknik sendiri. Nah, itulah yang perlu direstrukturkan untuk bisnis. Pemerintah dengan instansi terkait harus melakukannya, terutama dalam hal marketing. Jadi tidak hanya membiayai mereka, terutama kalangan incubator di perguruan tinggi,” paparnya.
Deputi bidang Pengembangan Usaha dan Restrukturisasi Chairul Djamhari mengatakan, sekarang ada dua masalah yang dihadapi incubator di perguruan tinggi. Pertama masalah konsep pengembangan incubator bisnis belum rinci dan detail. Kedua belum ada paying hokum yang jadi titik toal bagi incubator untuk berkembang. “Sebanyak 15 inkubator perguruan tinggi dari seluruh Indonesia yang lolos seleksi telah melakukan presentasi akhir. Mereka diseleksi terkait teknis proposal, program yang menunjukkan input, proses, dan output atas komitmen awal yang dilakukan. Berdasarkan survey dan identifikasi, maka ada dua masalah yang paling menonjol pada incubator,” lapor Chairul Djamhari sebagai penyelenggara.
Selain itu, penilaian incubator diharapkan menjadi tiga tahun. Karena tahun pertama tahap pres inkubasi, proses, dan pasca. Tapi karena terkendala anggaran, maka baru akan dilaksanakan tahun 2013. “Parameter nilai juga spesifik. Karena pesertanya ada yang ABG, pemuda, dan yang sudah berpengalaman. Lazimnya penilaian pada incubator tiga tahun. Tapi karena kendala anggaran, akhirnya setiap tahun saja. Ini akan dialokasi menjadi anggaran berkelanjutan per tiga tahun,” pungkas Chairul. (tim)
“Pertumbuhan rasio kewirausahaan sebesar 1,56 persen saat ini, belum cukup atau masih sedikit dibanding negara-negara lain. Karena rasio ideal jumlah wirausaha dengan jumlah penduduk adalah dua persen. Seperti Singapura dan Malaysia saja, sekarang rasio mereka di atas lima persen. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia saat masuk kategori bagus,” papar Syarif Hasan, Menkop dan UKM dihadapan peserta incubator bisnis dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia di auditorium Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (20/3).
Menkop dan UKM bertekad akan mencanangkan incubator bisnis ini menjadi gerakan sebagaimana Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN), sehingga menjadi Gerakan Inkubator Nasional nantinya. Karena itu, Syarif meminta kalangan rector yang hadir untuk ikut mensosialisasikan incubator bisnis ini supaya familiar. “Kalau perlu, lakukan evaluasi terhadap nama terminology incubator. Apa sudah familiar atau belum? Seperti entrepreneur, karena tidak familiar, sekarang lebih dikenal dengan nama kewirausahaan. Walaupun arti secara harfiahnya, katanya, tidak tepat. Tapi karena entrepreneur memberi arti kemampuan seseorang untuk menciptakan suatu barang untuk usaha, maka bisa disamakan dengan kewirausahaan. Nah, jadi apa sebenarnya incubator itu, harus dicari terminology. Kalau memang sudah familiar, tidak masalah. Ini jadi tugas kita bersama untuk membuat lebih familiar lagi,” pinta Syarif pada acara yang dihadiri Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Joko Santoso.
Dalam kesempatan itu, Syarif meminta para rector untuk ikut memberi pengertian nmahasiswanya agar tidak melakukan demontrasi menentang kenaikkan BBM (Bahan Bakar Minyak). Menurut Syarif, tujuan kenaikan BBM bukan untuk menyelematkan APBN, tapi justru untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang sedang baik ini. “Karena kita masuk dalam salah satu Negara denagn ekonomi baik, maka ini perlu kita selamatkan. Salah satu caranya menaikkan BBM. Pemahaman ini perlu diketahui kalangan rector, walau forum rector sudah setuju atas kenaikan BBM ini,” pintanya.
Dirjen Dikti Kemendibud, Joko Santoso menambahkan, sekarang sebenarnya ada 60-90 juta entrepreneur di Indonesia. Entrepreneur yang ada di pinggir-pinggir jalan atau yang lebih dikenal dengan pedagang kaki lima (PKL), justru tidak merepotkan pemerintah. Karena mereka jalan sendiri dan mandiri bahkan malah jadi penopang ekonomi bangsa. “Tulang punggung ekonomi Indonesia ada pada PKL. Masalah tercatat, tidak tercatat, itu yang harus dicatat. Pemerintah akan mengindentifikasi, mencatat, dan merestrukturisasi usaha-usaha PKL. Kelemahan mereka hanya teknik atau cara jual barang. Karena mereka selama ini pakai teknik sendiri. Nah, itulah yang perlu direstrukturkan untuk bisnis. Pemerintah dengan instansi terkait harus melakukannya, terutama dalam hal marketing. Jadi tidak hanya membiayai mereka, terutama kalangan incubator di perguruan tinggi,” paparnya.
Deputi bidang Pengembangan Usaha dan Restrukturisasi Chairul Djamhari mengatakan, sekarang ada dua masalah yang dihadapi incubator di perguruan tinggi. Pertama masalah konsep pengembangan incubator bisnis belum rinci dan detail. Kedua belum ada paying hokum yang jadi titik toal bagi incubator untuk berkembang. “Sebanyak 15 inkubator perguruan tinggi dari seluruh Indonesia yang lolos seleksi telah melakukan presentasi akhir. Mereka diseleksi terkait teknis proposal, program yang menunjukkan input, proses, dan output atas komitmen awal yang dilakukan. Berdasarkan survey dan identifikasi, maka ada dua masalah yang paling menonjol pada incubator,” lapor Chairul Djamhari sebagai penyelenggara.
Selain itu, penilaian incubator diharapkan menjadi tiga tahun. Karena tahun pertama tahap pres inkubasi, proses, dan pasca. Tapi karena terkendala anggaran, maka baru akan dilaksanakan tahun 2013. “Parameter nilai juga spesifik. Karena pesertanya ada yang ABG, pemuda, dan yang sudah berpengalaman. Lazimnya penilaian pada incubator tiga tahun. Tapi karena kendala anggaran, akhirnya setiap tahun saja. Ini akan dialokasi menjadi anggaran berkelanjutan per tiga tahun,” pungkas Chairul. (tim)
0 komentar:
Posting Komentar